Jakarta (ANTARA) - Bangsa Indonesia mendapatkan kado istimewa pada Senin (20/11/2023) saat UNESCO menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pada Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu di Paris, Prancis.
Penetapan ini tentu bukan hanya untuk menjadi ajang kebanggaan bersama sebagai bangsa. Ada tanggung jawab besar yang harus disadari bahwa kita wajib menjaga martabat bahasa yang telah diperjuangkan sejak sebelum Indonesia merdeka, khususnya pada momentum Kongres Pemuda 1928 itu.
Bahasa Indonesia, dalam perjalanan sejarahnya, terbukti menjadi salah satu komponen pemersatu bangsa yang warganya terdiri atas berbagai suku, termasuk budaya dan bahasanya.
Menjadi kewajiban bersama agar bahasa persatuan ini kita jaga, mulai dari hal-hal sederhana, seperti penggunaan yang tidak dengan seenaknya dicampur atau diganti dengan serapan dari bahasa asing.
Sudah menjadi hukum alam bahwa bahasa sebagai alat interaksi sosial tidak bisa steril dari pengaruh bahasa lain, terutama bahasa asing dan bahasa daerah.
Mudahnya serapan bahasa asing menyelinap dalam kalimat Bahasa Indonesia karena beberapa alasan, seperti merasa lebih keren atau karena lebih praktis.
Kita ambil contoh kata serapan dari bahasa asing yang dengan sangat mudah digunakan oleh masyarakat kita, khususnya di media massa dan dunia pendidikan adalah "destinasi" dan "erupsi".
Alasan lebih keren menggunakan diksi itu mungkin saja menjadi ladang penyubur, sehingga tidak sedikit orang begitu menggunakannya dalam menyusun kalimat, baik tutur maupun tertulis. Demikian juga dengan alasan lebih praktis karena kita tidak mau memilih rumit.
Misalnya, kata "destinasi" yang secara pasti kata itu merujuk ke tema tentang wisata, sementara kata asli Bahasa Indonesia sudah ada pilihan diksi, yakni "tujuan" atau "objek" atau "tempat". Hanya saja kata "tujuan" dan "objek" itu harus selalu dibarengi dengan kata "wisata" di belakangnya.
Sementara erupsi, Bahasa Indonesia juga memiliki kata asli, yakni meletus. Lagi-lagi penggunaan kata meletus dan letusan ini memerlukan ketelitian dalam menggunakannya. Kalau kata erupsi bisa digunakan untuk segala konteks dan maksud maka meletus dan letusan memerlukan kejelian.
Misalnya untuk menjelaskan fakta bahwa Gunung Merapi mengeluarkan debu, kata yang pas adalah meletus, sementara kata letusan digunakan untuk menjelaskan lebih luas mengenai penyebab atau dampak dari gunung yang oleh penduduk lokal biasa disebut gunung sedang "batuk".
Mengapa kecenderungan menggunakan diksi dari bahasa asing itu harus kita ingatkan?
Pertama, untuk menjaga agar kekayaan kata yang kita miliki itu tidak punah karena jarang digunakan. Menyerap kata dari luar Bahasa Indonesia sebetulnya tidak ada masalah jika memang kata dimaksud tidak ada dalam bahasa kita.
Bisa kita bayangkan jika dengan sangat mudah kita menyerap kata asing menggantikan kata asli, keajekan bahasa yang perlu kita jaga bersama ini akan susah untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Bersama menjaga martabat Bahasa Indonesia
Rabu, 22 November 2023 9:26 WIB 927