Bengkulu (Antara) - Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Budi Koswara mengatakan pembangunan instalasi pengolahan limbah komunal berbasis teknologi biogas di Pondok Pesantren Pancasila Kota Bengkulu merupakan skala percontohan.
"Biogas yang dihasilkan masih kecil, hanya skala percontohan," kata Budi, saat memantau kondisi instalasi tersebut di kompleks Pondok Pesantren Pancasila di Kota Bengkulu, Jumat.
Sebelumnya, pengurus pondok mengeluhkan kondisi instalasi biogas tersebut karena tidak berfungsi setelah dibangun beberapa bulan lalu.
Atas keluhan itu LIPI menurunkan tim teknis ke lapangan dan memeriksa kondisi instalasi biogas tersebut, dan ternyata ditemukan beberapa kekeliruan perawatan.
"Kalau melihat kapasitas digester sembilan ton hanya menghasilkan daya listrik 750 watt, kalau memasak hanya dua jam," ucapnya.
Ia mengatakan bila ingin mengganti bahan bakar kayu yang selama ini masih digunakan di pondok tersebut, pihaknya mengimbau penambahan bahan baku dan jumlah digester atau penampung kotoran yang masih mengandung gas metan.
Pemanfaatan biogas yang cukup berhasil dengan pemanfaatan instalasi pengolahan limbah komunal serta ditambah dengan pemanfaatan kotoran sapi dapat ditemui di Ponpes Saung Balong di Majalengka, Jawa Barat.
"Mereka memiliki ratusan ternak sapi dan kotorannya dimanfaatkan untuk biogas, kalau ingin skala besar sebaiknya studi banding dulu," tuturnya.
Yaya Sudrajat dari tim teknis biogas LIPI mengatakan perawatan instalasi tersebut cukup mudah, hanya memastikan bahan baku yakni kotoran masuk ke digester dan memutar "mixer" untuk menghindari pengendapan.
"Memang kami akui komunikasi minim sehingga petugas yang ditempatkan mengelola fasilitas ini justru memotong pipa yang menyalurkan limbah ke digester," tambahnya.
Pengurus Ponpes Pancasila, Jon Hendri mengatakan pihaknya sama sekali tidak mengetahui kapasitas yang dihasilkan biogas dengan satu digester tersebut.
"Awal mengetahui program ini masuk ke pondok kami sangat senang karena mengharapkan bisa mengganti bahan bakar kayu karena begitu yang dijanjikan," katanya.
Ia mengatakan setiap bulan pengurus pondok harus mengeluarkan Rp6 juta untuk membeli kayu bakar dan Rp7 juta untuk membayar tagihan listrik.
Dengan jumlah santri sebanyak 180 orang yang membuang kotoran untuk diolah di instalasi tersebut, ternyata hanya menghasilkan biogas yang sangat kecil.***1***