Yang pertama, anak-anak tersebut mudah terprovokasi ajakan tawuran di media sosial. Sebagian anak yang terlibat tawuran awalnya berawal dari provokasi teman sebaya mereka di media sosial.
Provokasi tersebut biasanya berupa siaran langsung di media sosial yang bertujuan untuk mengajak anak-anak yang lain untuk tawuran. Beberapa kelompok anak juga sampai membuat grup khusus untuk tawuran.
Hal ini perlu menjadi perhatian orang tua untuk benar-benar mengawasi perilaku dan pergaulan anak hingga memantau media sosial anak. Kemudahan teknologi seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperluas pengawasan orang tua, atau paling tidak soal waktu penggunaan gawai.
Pengawasan serupa juga sudah mulai diterapkan oleh kepolisian dengan mengawasi akun-akun yang biasanya atau berpotensi menyebarkan ajakan tawuran. Terkait penggunaan teknologi, aksi penggagalan tawuran oleh kepolisian juga dimudahkan oleh laporan warga melalui handphone.
Temuan tersebut relevan dengan pengakuan anak-anak yang dibina di Bapas Jakbar, bahwa banyak orang tua mereka yang tidak peduli dengan keseharian anak-anak, misalnya, orang tua tidak menyempatkan waktu menjenguk mereka di Bapas.
Kekurangpedulian orang tua kemudian semakin memperburuk keadaan karena justru dalam situasi-situasi seperti itulah orang tua dibutuhkan oleh anak yang bermasalah. Kondisi tersebut perlu menjadi evaluasi oleh semua orang tua karena kasus yang dilakukan oleh anak adalah juga kegagalan orang tua dalam mendidik.
Pemicu berikutnya adalah senioritas di sekolah. Para senior di sekolah atau yang sudah menjadi alumni ternyata juga sering menyebarkan kebencian kepada siswa-siswa baru. Jadi, ada semacam kebencian terhadap sekolah lain yang ditanamkan sedari awal. Hal tersebut menyebabkan momen-momen pertemuan kedua sekolah yang memiliki sejarah konflik, sering kali berakhir tawuran.
Hal tersebut harus menjadi perhatian pengelola pendidikan, mulai lembaga pendidikan sampai dengan dinas pendidikan. Pada November 2023, Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat mempertemukan dua sekolah yang pelajarnya terlibat tawuran, yakni SMK Islam Perti dan SMK Trikora di wilayah tersebut.
Intervensi tersebut penting untuk dapat menguraikan masalah pelajar secara saksama hingga kemudian dapat menemukan titik damai dan menentukan langkah antisipasi.
Pembuatan satgas antikekerasan di sekolah oleh Sudindik Jakbar menyusul pembacokan yang melibatkan pelajar dua sekolah tersebut juga layak dicoba oleh struktur pendidikan wilayah lain. Pembentukan satgas dengan evaluasi yang jelas setiap periode waktu tertentu, membuat kasus kekerasan dapat ditekan dengan intervensi yang terukur.
Yang berikutnya adalah masalah keluarga. Beberapa dari anak pelaku tawuran tersebut mengaku bahwa rumah mereka sempit sehingga harus bergantian tidur dengan orang tua atau anggota keluarga yang lain. Misalnya, anak tidur di sore hari dan pada malam hari bergantian tidur dengan orang tua.
Pada malam hari, karena kurangnya ruang di dalam rumah, anak-anak tersebut akhirnya berkeliaran dan berkenalan dengan kekerasan di jalanan. Hal tersebut ditambah dengan provokasi yang dibangun sebelumnya.
Beberapa pemicu tindakan kekerasan oleh anak tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran semua pihak, mulai dari orang tua, sekolah, Pemerintah, dan lembaga penegak hukum seperti kepolisian.
Temuan beragam latar belakang tersebut maka kekerasan oleh anak tidak dapat diselesaikan hanya dengan pemberian hukuman seperti pencabutan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus atau dikeluarkannya anak dari lembaga pendidikan.
Dengan melihat masalah secara saksama dan melibatkan semua pihak, maka solusi yang diambil bakal lebih tepat, permanen, dan memberi efek didik bagi anak-anak yang lain.
Editor: Achmad Zaenal M
Menelusuri akar masalah untuk meredam kekerasan oleh anak
Selasa, 2 Januari 2024 11:16 WIB 1079