Sleman (ANTARA) - Di tengah riuh kompetisi antarpeserta Pemilu 2024, hampir selalu terdengar celotehan-celotehan yang tidak asing lagi di telinga masyarakat yakni kalimat-kalimat bernada tentang politik uang.
Hal ini dimungkinkan karena politik uang seolah-olah sudah dianggap biasa oleh masyarakat awam padahal praktik ini terlarang.
Aktivitas memberikan sesuatu atau uang kepada mereka yang sudah memiliki hak pilih untuk mempengaruhi sikap pilihannya dalam pemilu tersebut seperti sudah dianggap sesuatu hal yang lumrah atau biasa.
Menghadapi fenomena itu, maka menjelang pelaksanaan Pemilu 2024, sejumlah pihak yang memiliki kepedulian terhadap tegaknya nilai demokrasi, mereka terusik dengan praktik curang tersebut.
Mereka berusaha untuk memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat bahwa politik uang ini sangat merugikan dan membahayakan demokrasi sebuah bangsa jika tidak segera diberantas sampai tuntas.
Bukan "sedekah"
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie menyebut bahwa maraknya politik uang menjelang pemilu tidak akan pernah bisa diselesaikan perkaranya, meskipun terungkap bukti dan pelakunya karena ini bukan dinilai sebagai masalah hukum (pidana).
Politik uang dinilai terkait dengan budaya dan masyarakat desa memegang peran penting dalam upaya melawannya.
"Politik uang sama sekali bukan masalah hukum. Coba saja kita kumpulkan para profesor atau ahli tata hukum pidana, pasti tidak bisa menyelesaikan persoalan politik uang. Ini problem budaya hukum," kata dia saat deklarasi antipolitik uang di Yogyakarta.
Ada semacam anggapan bahwa ketika masyarakat menerima sesuatu, khususnya benda atau materi dari elite politik menjelang pemilu, masyarakat menamakan pemberian itu sedekah. Karena dianggap sebagai sedekah, maka masalahnya dianggap pula selesai.
Butuh waktu panjang untuk menghilangkan politik uang menjelang pemilu karena politik uang merupakan masalah budaya sehingga yang harus dibenahi adalah budaya hukum di masyarakat.
Untuk mengubah budaya tersebut haruslah dimulai dari tingkat desa. Karena desa memiliki struktur pemerintahan yang berdaulat dan masyarakat memiliki kedaulatan. Perlu juga melibatkan mahasiswa menyosialisasikan bahaya politik uang bagi keberlangsungan demokrasi.
Namun yang paling penting, masyarakat harus berani dan mampu menolak politik uang. Jangan lagi menggunakan slogan "terima uangnya, pilih yang lain". Tagline ini menjadi berbahaya karena akan mendidik budaya hipokrit atau munafik.
"Kalau mau bersih sekalian kita budayakan antipolitik uang," tegas Gugun.
Pakar ilmu politik UGM Yogyakarta Mada Sukmajati menyatakan desa merupakan tempat terbaik dan strategis melakukan transformasi atau perubahan sosial, salah satunya menghapus budaya politik uang. Melalui transformasi di desa maka bisa memacu perubahan di atasnya.
"Saya kira mengakhiri politik uang pola 'bitingan' (batang lidi untuk menilai jumlah nilai uang dan jumlah hasil suara) menjelang pemilihan kepala desa (pilkades) akan berpengaruh besar pada pemilu (politik elektoral) di atasnya," kata Mada Sukmajati.
Skema politik uang lebih banyak dilakukan menjelang hari pemungutan suara atau pencoblosan, karena masyarakat akan lebih mengingat mereka yang memberikan pada akhir meskipun jumlahnya lebih kecil.
Gencar kampanye antipolitik uang
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang memiliki tugas untuk mengawasi praktik menyimpang dalam proses demokrasi ini tidak tinggal diam atau menerima begitu saja anggapan bahwa politik uang adalah budaya dan sedekah sehingga sulit dihilangkan.
Menolak politik uang sebagai "sedekah"
Kamis, 18 Januari 2024 12:12 WIB 638