Bukan mengamuk, tapi "aksi" itu menunjukkan ia tak sabar menuntaskan lapar dan dahaganya dengan sebotol susu yang sedang dibuatkan Murray Munro.
Pria asing asal Australia yang baru meninggalkan pekerjaannya di Australian Zoo itu adalah sukarelawan yang bersedia melintasi Samudra Hindia untuk merawat anak gajah yang diberi nama "Bona" itu.
Selama 20 hari, Murray dan dua rekannya Mandy French dan Bruce Levick tinggal di kamp Pusat Konservasi Gajah (PKG) Seblat untuk merawat anak gajah korban konflik yang diselamatkan petugas BKSDA Bengkulu itu.
Perkenalan Murray dengan anak gajah betina itu berawal dari cerita sahabatnya, Amber Gillett dari Australian Zoo yang berkunjung ke PKG Seblat atas ajakan Erni Suyanti Musabine, dokter satwa liar BKSDA Bengkulu pada Februari 2012.
"Amber menceritakan kondisi Bona, anak gajah yang terpisah dari kelompoknya dan diselamatkan petugas BKSDA dalam keadaan kurus dan diduga malnutrisi, itu yang menggugah saya untuk bertindak," kata Murray saat ditemui di PKG Seblat.
Dari cerita Amber, diperkuat dengan beberapa foto Bona, Murray dan dua rekannya segera melakukan penggalangan dana secara manual.
Penggalangan dana secara lebih luas pun dilakukan dengan membuat halaman atau "page" dalam jejaring sosial facebook dengan kampanye seruan penyelamatan Bona.
"Semua yang ingin berpartisipasi untuk menyelamatkan Bona bisa mendonasikan dana dengan membuka halaman kami di facebook `Save Bona the Elephant" atau website www.savebona.com`," katanya.
Dampaknya cukup dahsyat. Dalam tempo dua bulan, dana yang terkumpul cukup untuk membeli susu dengan nutrisi tinggi untuk kebutuhan Bona hingga 12 bulan ke depan.
Hasil penggalangan dana tahap pertama telah digunakan untuk membeli susu untuk Bona dan ketiga sukarelawan itu pun berangkat menuju PKG Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.
"Ada perasaan haru saat bertemu pertama kali dengan Bona, kami langsung melakukan perawatan intesif, sudah 20 hari disini," katanya.
Penggalangan dana kata dia terus dilakukan sebab diperkirakan, anak gajah harus mendapatkan susu hingga usia lima tahun.
Saat ini Murray dan dua rekannya Mandy dan Bruce telah kembali ke negaranya Australia untuk melakukan penggalangan dana lebih serius dan berencana kembali ke Bengkulu dalam waktu dekat.
PKG Seblat
Kisah Murray dan Bona adalah sekelumit dari kemungkinan banyak kisah lainnya yang akan tercipta akibat tingginya konflik di kawasan pelestarian satwa langka itu.Tekanan terhadap kawasan seluas 7.000 hektare itu semakin tinggi dengan kepentingan perluasan perkebunan, perambahan dan ancaman pertambangan batu bara.
Habitat gajah liar di kawasan hutan yang baru ditunjuk Menteri Kehutanan menjadi Taman Wisata Alam (TWA) PKG Seblat pada akhir 2012 saat ini sudah terisolasi.
Koordinator PKG Seblat Erni Suyanti Musabine mengatakan di sebelah Utara terdapat perkebunan sawit milik PT Alno, sebelah Barat terdapat perkebunan warga dan PT Agricinal.
"Sebelah Timur berbatasan dengan perambahan liar di HPT Lebong Kandis dan wilayah Selatan dengan pemukiman dan kebun warga," katanya.
Kondisi ini mengakibatkan tingkat konflik semakin tinggi yang dampaknya lebih sering mengorbankan satwa liar itu.
Ditambah lagi dengan perburuan liar yang masih mengancam gajah liar yang tersisa, yang diperkirakan tidak lebih dari 80 ekor.
"Bona adalah salah satu korban dari konflik atas habitat gajah liar di Seblat ini," tambahnya.
Sebelum diselamatkan petugas BKSDA Bengkulu, anak gajah itu sempat terlunta-lunta selama 15 hari di areal perkebunan sawit milik PT Alno.
Petugas keamanan perusahaan kemudian melaporkan tentang keberadaan anak gajah itu kepada mahout atau pawang gajah di PKG Seblat selanjutnya dilakukan penyelamatan.
Sementara itu Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Wilayah Bengkulu, Nurkholis Sastro mengatakan peningkatan status PKG Seblat dari hutan produksi fungsi khusus menjadi TWA diharapkan sejalan dengan peningkatan pelestarian kawasan itu.
"Tapi sangat disayangkan sekitar 500 hektare kawasan itu diturunkan fungsinya menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi padahal merupakan habitat gajah Sumatra," katanya.
Penurunan fungsi itu kata dia merupakan menjadi bagian dari revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2012.
Menurutnya, selain meningkatkan konflik yang selama ini sudah cukup tinggi, kelestarian gajah Sumatra akan semakin terancam.
"Kawasan itu tidak hanya jadi habitat puluhan gajah liar, tapi juga satwa lain seperti harimau Sumatra dan lainnya," tambahnya.
Menurutnya, ada indikasi tukar guling kawasan dimana PKG Seblat melepaskan kawasan 500 hektare, sedangkan HPT Lebong Kandis seluas 1.000 hektare lebih diserahkan kepada PKG dan statusnya naik menjadi TWA.
Padahal dari penelurusan Warsi kata dia, di dalam HPT Lebong Kandis, ratusan kepala keluarga sudah bermukim dan merambah kawasan tersebut untuk dijadikan perkebunan.
Kondisi ini sangat rentan menimbulkan konflik teritori dengan gajah Sumatra, kondisi ini juga dikhawatirkan akan meningkatkan konflik sosial antara masyarakat yang menduduki HPT Lebong Kandis. (rni)