Muhammad Obie, salah satu anggota operator Ina-TEWS mengatakan dirinya terlibat dalam proses pemantauan gempa bumi yang melanda Jawa Barat ini. Peristiwa itu terjadi pada Rabu, 18 September 2024 sekitar pukul 09.41 WIB, atau beberapa saat setelah pergantian shift jaga yang mereka menyebutnya dengan istilah “on duty”. Seluruh anggota tim melaksanakan tugasnya dengan adrenalin yang luar biasa karena mereka tahu keputusan yang diambil bisa menentukan keselamatan banyak orang.
Aktivitas gempa ini terus dalam pantauan dan dilaporkan secara berkala oleh BMKG sejak tiga menit pertama kejadian.Laporan ini menjadi rujukan upaya tanggap darurat dan pemulihan dampak bencana sampai benar-benar tidak ada lagi pergerakan aktivitas sesar Garsela itu.
Beruntung tidak ada kondisi lanjutan yang menyertai gempa tersebut. Dengan demikian, penanganan terhadap sebanyak 45.325 orang warga terdampak bisa berhasil dan berlangsung aman. Tim pencarian dan pertolongan saat itu dapat melakukan operasi terhadap satu orang korban yang sempat dilaporkan hilang kemudian jasadnya bisa dievakuasi dari runtuhan material bangunan rumah sebelum masa operasi berakhir.
Tantangan
Meski sudah memiliki ratusan alat pemantau gempa dan potensi tsunami dalam sistem Ina-TEWS, tapi jumlah tersebut masih belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menjadi tantangan besar khususnya bagi wilayah terpencil di kawasan Indonesia bagian timur.
Sebagai seorang seismolog yang pernah bertugas di BMKG Kota Ambon, Maluku, maka Obie tahu betul tantangan pendeteksian gempa – peringatan dini tsunami di Indonesia timur itu.
Menurut Obie, akses data dari sensor sering kali mengalami keterlambatan akibat kendala jaringan atau lokasi geografis yang sulit dijangkau. Begitu pula vandalisme juga menjadi masalah serius. Sensor pendeteksi gempa dan potensi tsunami yang berada di lokasi-lokasi strategis seperti dekat pemukiman penduduk atau jalur perlintasan kapal nelayan sering dirusak atau bahkan hilang.
Kondisi tersebut sebagaimana yang terjadi pada alat Ina-Buoy. Alat ini merupakan salah satu komponen sensor yang digunakan dalam Ina-TEWS untuk mendeteksi pasang tsunami di tengah laut. Dari delapan lokasi pemasangan satu di antaranya ada di laut selatan Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada medio 2019-2020.
Alat canggih tersebut saat ini sudah tidak lagi beroperasi karena menjadi korban tangan jahil oknum masyarakat dan biaya perawatannya yang sangat mahal per unitnya bisa memakan anggaran senilai Rp6 miliar.
Demikian juga halnya menara pemantau untuk mendeteksi gempa bumi yang sebagian besar sudah berusia senja, seperti yang dapat ditemukan di wilayah Aceh.
Aceh memiliki sebanyak 25 unit alat pendeteksi gempa dan potensi tsunami yang dalam tiga tahun terakhir ini perawatannya menjadi tanggung jawab petugas Stasiun Geofisika (Stageo) Kelas III Mata'Ie di Aceh Besar dan Stasiun Geofisika di Aceh Selatan. Masing-masing peralatan tersebut berupa bangunan berisi sensor seismometer, menara, sirene, dan lainnya yang tersebar di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Timur, Lhokseumawe, Bener Meriah, Pidie, Simeulue, Kota Sabang, Gempang, Jantho, dan Selimung.
Baca juga: Mukomuko targetkan susun dokumen rencana kontingensi gempa-tsunami
Pengamat Meteorologi Geofisika Muda Stageo BMKG Mata'Ie Aceh Besar, Zaenal Abidin Al Atas, mengatakan bahwa sebagian besar peralatan itu adalah generasi pertama yang dibangun pada periode 2006-2007. Oleh karena faktor usianya yang sudah tua, ditambah faktor alam lantaran berhadapan degan terpaan angin, terik matahari dan air asin kawasan pesisir, maka saat ini alat tersebut sudah kerap mengalami gangguan.
Bahkan, ada tiga menara yang dibangun di daratan itu sudah tidak berfungsi lagi dalam satu atau dua tahun terakhir. Padahal ia mengakui bahwa perawatan s