Bengkulu (Antara) - Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu mengevaluasi normalisasi Sungai Air Nipis di Kecamatan Seginim Kabupaten Bengkulu Selatan yang diprotes warga, sebab pengerukan material sungai mempercepat laju erosi.
"Hasil cek lapangan memang kegiatan normalisasi tidak berjalan sesuai harapan masyarakat, sementara material sungai dikeruk untuk dijual," kata Kepala Bidang Pengusahaan Pertambangan dan Energi (PPE) Dinas ESDM Provinsi Bengkulu, Sultanul Askar di Bengkulu, Jumat.
Ia mengatakan Dinas ESDM menerbitkan ijin usaha pertambangan (IUP) pengangkutan dan penjualan material sisa normalisasi Sungai Air Nipis untuk PT Pesona Karya Abadi dengan target penjualan sebanyak 200 ribu meter kubik.
Pengangkutan dan penjualan material tersebut merupakan sisa dari pekerjaan normalisasi sungai dengan membangun tanggul untuk menangani abrasi.
"Jadi pekerjaan utama adalah normalisasi, setelah itu material sisa keperluan normalisasi bisa diangkut dan dijual," ucapnya.
Namun, hasil cek lapangan kata Askar, pihak ketiga yang mendapat kontrak normalisasi belum melaksanakan tanggungjawabnya tapi justru sudah mengangkut dan menjual material sebanyak 11 ribu meter kubik.
Di lapangan lanjut dia, pihaknya menemukan tumpukan batu yang dipasang sepanjang 300 meter.
Tumpukan batu setinggi dua meter dengan lebar tiga meter tersebut belum diikat besi sehingga saat hujan, tumpukan batu tersebut rawan terbawa arus sungai.
"Hasil cek lapangan akan kami laporkan ke gubernur tapi masih menunggu kajian dari Balai Sungai Sumatera VII dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bengkulu Selatan," kata Askar.
Sebelumnya warga sejumlah desa di bantaran Sungai Air Nipis mendatangi Kantor Dinas ESDM Provinsi Bengkulu mendesak pencabutan izin pengangkutan dan penjualan material sungai tersebut.
Lebih 400 orang warga telah menandatangani petisi penolakan pengerukan pasir dan batu koral karena khawatir menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah.
"Kami khawatir terjadi gerusan tepi sungai yang lebih parah karena arus sungai akan semakin deras akibat pengambilan material," kata Doni, salah seorang warga.
Masyarakat juga khawatir terhadap keselamatan bendungan di Desa Kota Agung yang digunakan petani untuk mengairi lahan persawahan irigasi Datar Rungau dan sekitarnya seluas 1.500 hektare.
Penolakan kegiatan pengerukan pasir dan batu koral itu disampaikan masyarakat Desa Durian Seginim, Desa Banding Agung, Desa Darat Sawah Ilir, Desa Pasar Baru, Desa Darat Sawah Ulu dan Desa Babatan. ***4***