Bengkulu, 16/12 (Antara) - Musim hujan sejak pertengahan hingga akhir tahun 2016 menjadi periode yang sulit bagi masyarakat di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, khususnya di Kecamatan Air Priukan, Ilir Talo, Lubuk Sandi dan Sukaraja.
Setiap hujan lebat mengguyur wilayah itu selama beberapa jam saja, ratusan rumah di sejumlah desa dipastikan terendam banjir, seperti di Desa Lawang Agung, Pasar Seluma, Pasar Ngalam, Air Priukan, Jenggalu, Cengri, Padang Pelasan hingga Rawa Indah.
Dalam cacatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Seluma, setiap hujan lebat, desa-desa itu akan terendam akibat luapan tiga sungai yakni Sungai Jenggalu, Sungai Sindur dan Sungai Seluma.
"Ada tiga sungai yang selalu meluap bila terjadi hujan lebat, yakni Sindur, Seluma dan Jenggalu yang bermuara di Kota Bengkulu," kata Kepala BPBD Kabupaten Seluma, Azwardi.
Luapan Sungai Sindur merendam permukiman dan kebun karet serta sawit warga Desa Ngalam, Lawang Agung dan Padang Pelasan.
Sementara luapan Sungai Jenggalu merendam permukiman dan kebun warga Desa Jenggalu, Desa Cengri serta luapan Sungai Seluma rutin merendam permukiman dan sawah warga Desa Pasar Seluma dan Rawa Indah.
"Luapan Sungai Jenggalu dan Seluma juga sering membuat jalur lintas barat yang menghubungkan Bengkulu dengan Lampung terputus," ucapnya.
Kepala Desa Lawang Agung, Kirman Efendi mengatakan luapan Sungai Sindur menjadi penyebab utama banjir yang rutin malanda desa mereka bila hujan lebat turun.
Pemerintah desa sudah mengusulkan pembangunan tanggul di pinggir sungai yang berjarak 50 meter dari permukiman warga untuk mengatasi banjir.
"Setiap hujan lebat pasti ada permukiman yang terendam banjir, karena itu kami sulkan pembangunan tanggul untuk mengatasi luapan air sungai," kata Kirman.
Seluma merupakan kabupaten yang berdampingan langsung dengan Kota Bengkulu yang merupakan ibu kota Provinsi Bengkulu. Meski cukup dekat dengan ibu kota provinsi, Kabupaten Seluma masih barstatus daerah tertinggal.
Menurut data yang dihimpun BPBD Provinsi Bengkulu, dalam kurun Januari hingga November 2016 tercatat 48 kejadian bencana banjir di wilayah provinsi itu.
Dari 48 kejadian banjir tersebut, Kabupaten Seluma menempati posisi pertama dengan jumlah kejadian banjir mencapai 15 kali.
"Tahun 2015 tidak ada kejadian banjir di Seluma, sementara baru November 2016 sudah 15 kali," kata Kepala BPBD Provinsi Bengkulu, Husni Mahyudin.
Selain Kabupaten Seluma, kejadian banjir juga tinggi di wilayah Kabupaten Kaur yang mencapai 11 kali.
Banjir lanjut Husni, mengakibatkan 1.049 rumah terendam, lima unit jembatan terendam dan rusak, serta 151 hektare sawah rusak dengan kerugian material mencapai Rp400 juta.
Selamatkan DAS
Menurut Koordinator Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Bengkulu, Ali Akbar, banjir yang kerap melanda wilayah Seluma disebabkan kerusakan kawasan Hutan Lindung Bukit Sanggul dan Taman Buru Semidang Bukit Kabu di wilayah hulu tiga sungai tersebut.
"Hulu sungai sudah babak belur akibat alih fungsi untuk berbagai kepentingan mencapai puluhan ribu hektare," kata Ali.
Penurunan daya dukung kawasan hulu membuat wilayah itu tidak berfungsi lagi sebagai daerah tangkapan air atau "cathment area".
Luas Hutan Lindung Bukit Sanggul di wilayah Kabupaten Seluma mencapai 62 ribu hektare dengan kerusakan tidak kurang dari 35 persen.
Sedangkan Taman Buru Semidang Bukit Kabu seluas 15.300 hektare sudah beralih fungsi lebih dari 75 persen.
Kebiasaan petani membuka ladang baru atau dikenal dengan istilah ladang berpindah serta lemahnya pengawasan dari pihak terkait menjadi penyebab utama kerusakan hutan di wilayah itu.
Kerusakan DAS diperparah dengan pemberian izin pertambangan batubara oleh pemerintah daerah sehingga tingkat erosi semakin tinggi.
Sementara Daerah Aliran Sungai (DAS) Kungkai yang memiliki sub DAS Sindur, Kungkai Hulu, Kungkai Hilir dan sub DAS Ngalam bermuara di Sungai Sindur.
"Sungai Sindur tidak mampu menampung seluruh debit dari beberapa sub DAS Kungkai, sehingga setiap hujan di hulu pasti meluap," kata Ali.
Topografi wilayah hulu sungai yang curam dengan kemiringan lahan di atas 45 derajat serta panjang sungai 27,5 kilometer membuat aktivitas di hulu sangat cepat dirasakan dampaknya di wilayah hilir.
Menurut dia, solusi mengatasi banjir berulang itu tidak lain dengan cara memulihkan fungsi DAS sebagai daerah tangkapan air. Regulasi terkait perlindungan DAS dan kawasan hutan harus ditegakkan.
Sementara di wilayah hilir, wilayah Pantai Barat Bengkulu memiliki fenomena alam "penutupan muara" akibat sedimentasi atau pendangkalan bagian muara akibat perbedaan ketinggian muka air laut dengan sungai.
"Air dari muara sudah melebihi daya tampung sungai sedangkan di muara ada benteng alam akibat sedimentasi, sehingga luapan sungai semakin parah," ucapnya.
Pendangkalan di muara yang membentuk `bendungan` alam itu sewaktu-waktu dapat jebol bila permukaan air sungai lebih tinggi dari muka air laut.
Sayangnya, pemanasan global yang mengakibatkan muka air laut meningkat ikut memperparah banjir di wilayah pesisir barat Bengkulu.
Dalam jangka pendek, menurut Ali, perlu dibuat kanal sebagai "ruang" untuk air yang meluap dari sungai-sungai tersebut.
"Di negara maju misalnya tidak lagi membuat tanggul, tapi kanal untuk diisi air yang tidak mampu ditampung oleh sungai," ucapnya.
Sementara dalam jangka panjang, solusinya adalah penanganan secara menyeluruh atau holistik dengan pendekatan hulu dan hilir.
Ali menegaskan, hutan di wilayah hulu harus diselamatkan serta didukung dengan penyelamatan ekosistem hutan pantai di pesisir.***3***
Membaca "ritual" banjir di Seluma
Sabtu, 17 Desember 2016 2:29 WIB 3975