Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Di tengah hujatan, kritikan bahkan kecaman terhadap anggota Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah Palu, Kepolisian Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, terdengar "angin segar" dari Kepolisian Resor Kota Pekalongan, Kepolisian Daerah Jawa Tengah, untuk kasus kriminal yang kurang lebih sama.
Jajaran Polresta Pekalongan pada hari Minggu (8/1) mengumumkan pembatalan proses pidana terhadap dua remaja di kota itu, yakni AW --yang baru berusia 13 tahun-- serta AT(17) --yang semula diduga terlibat kasus pencurian, dengan alasan bahwa mereka masih di bawah umur.
"Langkah penyelesaian perkara pidana di luar persidangan di pengadilan ini kami lakukan karena para pelaku masih di bawah umur. Pada kesempatan ini, kami berharap mereka masih dibina dengan baik," kata Kepala Polresta Pekalongan, AKBP Dani Hernando, Minggu.
AW dan AT diduga telah melakukan pencurian uang sebesar Rp500.000 dan dua buah telepon seluler alias ponsel di rumah seorang warga setempat, Feni Kiswati ( 23) pada hari Rabu(4/1). Tersangka AW mengaku dirinya "diajak" AT untuk melakukan pencurian di dalam rumah Feni. Tugas AW adalah mengawasi situasi di sekitar rumah korban mereka.
"Saat itu, AT yang masuk ke rumah korban sedangkan saya di luar rumah untuk mengawasi kondisi lingkungan. Hasil curian itu digunakan untuk membeli obat bagi ibunya, yang sedang sakit," demikian pengakuan AW.
Ketika mengomentari pencurian oleh anak-anak di bawah umur, Kepala Polresta Pekalongan AKBP Dani Hernando mengatakan sebelum melepas bebas kedua tersangka itu, para aparat keamanan telah menasehati mereka agar tidak berbuat onar lagi.
"Kami berharap kedua pelaku ini bisa dibina dan tidak berbuat jahat lagi. Sebab, jika mereka mengulang tindak pidana lagi, maka polisi tidak akan segan untuk memprosesnya sesuai dengan hukum yang berlaku," demikian peringatan atau ancaman yang dilontarkan pimpinan polisi di kota Pekalongan tersebut.
Selain karena para tersangka itu baru berusia belasan tahun, alasan yang dipakai aparat keamanan adalah karena korban pencurian tersebut setuju untuk tidak memperpanjang persoalan barang yang telah dicuri oleh kedua tersangka itu.
Adakah kesamaan antara kasus di Pekalongan dan di kota Palu yang terjadi pada bulan November tahun 2011 dengan korban Briptu Rusdi Harahap, yang "mengaku" kehilangan sandal jepit bekas? Ada! Persamaannya adalah para pelaku pencurian itu sama-sama masih remaja, karena jika AW berusia 13 tahun dan AT berumur 17 tahun maka sang tersangka di Palu yakni AAL juga berusia kurang lebih 17 tahun.
Namun yang sangat membedakan kedua kasus tersebut ialah jika Feni setuju untuk tidak memperpanjang kasus pencurian yang dihadapinya maka sang Brimob itu malahan sebaliknya mendorong agar kasus pencurian sendal bekas yang harganya hanya beberapa puluh ribu rupiah itu diajukan ke "meja hijau".
Malahan akhirya Briptu Rusdi Harahap malah diadili dan mendapat hukuman yang beraneka ragam seperti ditunda kemungkinan untuk sekolah sehingga bisa sulit naik pangkat dan jabatan dalam waktu dekat ini.
Pertanyaan yang bisa timbul di kalangan masyarakat adalah jika anggota Brimob ngotot agar kasus hilangnya sandal dibawa ke pengadilan lalu kenapa Feni mau "mundur" sehingga hakim di Pekalongan tidak perlu berhadapan dengan semua tersangka itu?
Feni dan jajaran Polresta Pekalongan mungkin sadar bahwa jika mereka bersikeras untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan maka mereka akan menghadapi kritikan atau kecaman dari masyarakat --tidak hanya di Pekalongan tapi juga di kotak-kota lain di tanah air. Sebabnya ialah kasus AAL di Palu tidak hanya menjadi perhatian di tanah air tapi juga di berbagai negara karena berbagai surat kabar dunia telah memberitakan kasus sang Brimob di Palu tersebut.
Apabila Feni bersikeras untuk mengajukan tersangka hingga menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Pekalongan maka tentu hal itu menjadi hak pribadinya. Namun mungkin Feni --dengan mengacu pada kasus "tuan Brimob" di Palu-- sadar bahwa jika dirinya bersikeras membawa AW dan AT ke pengadilan maka itu tidak akan menguntungkan dirinya sendiri apalagi jika benar pengakuan AT bahwa hasil "pencurian" itu akan dipakai untuk membeli obat bagi ibunya --yang sedang sakit.
Sementara itu, jajaran Polresta Pekalongan bisa menarik pelajaran dari kasus di Palu, karena ulah Briptu Rusdi Harahap tidak hanya merusak citra polisi di Sulteng, tapi juga di hampir semua daerah di tanah air. Selain itu kasus bentrokan antara masyarakat dan jajaran Polri di Bima, NTB, telah semakin menambah runyamnya hubungan rakyat dengan para penegak hukum di tanah air.
Namun keputusan Kepala polresta Pekalongan AKBP Dani Hernando untuk membatalkan diteruskannya kasus pencurian ke meja hijau itu bukan tak menyimpan resiko. Itu bisa saja menimbulkan masalah, dalam arti mungkin saja ada orang-orang lain yang berusaha mencuri namun berharap kasus pencurian itu tidak diteruskan ke pengadilan karena sang pencuri masih di bawah umur.
Keputusan Polresta Pekalongan itu tentunya sudah dipertimbangkan masak-masak atau matang antara lain dengan mengacu kepada putusan Pengadilan Negeri Palu terhadap AAL dan juga vonis terhadap Briptu Rusdi Harahap.
Sikap AKBP Dani bisa diperkirakan sudah dikonsultasikan dengan berbagai pihak terutama dengan kalangan pimpinan Polri di tingkat Polda Jawa Tengah bahkan Mabes Polri di Jakarta.
Keputusan Polresta Pekalongan itu tentu akan menjadi perhatian masyarakat di seluruh tanah air apalagi kemiskinan masih tersebar luas di seluruh tanah air sehingga kasus-kasus pencurian oleh anak- anak dari keluarga miskin masih saja bisa sering terjadi. Kasus AAL, AW serta AT akan tetap bisa terjadi sehingga yang diperlukan adalah sikap bijaksana pimpinan Polri mulai dari tingkat terbawah hingga ke tingkat tertinggi. (T.A011/C003)