Jakarta (ANTARA) - Penurunan tanah (landsubsidence) di DKI Jakarta salah satu faktornya adalah disebabkan eksploitasi air tanah atau pengambilan secara berlebih, menurut Kepala Badan Geologi, Rudy Suhendar.
Ia di Jakarta, Selasa, menyebutkan bahwa selain penyebabnya adalah pengambilan air tanah secara berlebih, intrusi air laut juga menjadi faktor lainnya, khususnya di wilayah Utara Jakarta.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan bersama Kepala Badan Geologi, Rudy Suhendar menyosialisasikan kondisi air tanah di Jakarta di hadapan para awak media.
Saat ini, kebutuhan air bersih di Jakarta diperkirakan mencapai 846 juta meter kubik per tahun, sedangkan layanan air PDAM Jakarta hanya mencapai sekitar 62 persen, sehingga sisa kebutuhan air bersih dipenuhi dari pengambilan air tanah.
Muka air tanah terdalam yang terekam pada tahun 2013 di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta sekitar -40 meter di bawah permukaan laut (m.dpl).
Sementara pada tahun 2018 mengalami perubahan positif terpantau muka air tanah terendah di Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta Utara pada level -35 mdpl. Laju penurunan permukaan tanah tertinggi yang terukur oleh alat GPS Geodetik adalah 12 sentimeter per tahun di daerah Ancol wilayah Jakarta Utara.
Faktor lain yang menjadi penyebab penurunan permukaan tanah Jakarta antara lain kompaksi tanah secara alamiah, pembebanan akibat pembangunan, dan geotektonik.
Kementerian ESDM melalui Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Badan Geologi bekerjsama dengan pemerintah DKI Provinsi Jakarta melakukan pengetatan pengambilan airtanah dan pengawasan terhadap pengguna air tanah yang tidak sesuai aturan.
Upaya ini menunjukkan hasil yang positif, antara lain ditunjukkan dengan adanya kenaikan kedudukan muka airtanah di beberapa tempat di wilayah Utara CAT Jakarta.
Salah satu contoh di Kawasan JIEP Pulogadung terpantau melalui sumur pantau Badan Geologi pada tahun 2016 tercatat muka airtanah berada pada posisi -22,46 m.dpl, hingga tahun 2019 tercatat kenaikan muka airtanah mencapai 2,45 meter dan muka airtanah terkini berada pada posisi -20,01 m.dpl.
Hasil pemantauan kualitas airtanah pada 277 titik sumur pengamatan yang terdiri dari sumur gali, sumur pantek, sumur produksi dan sumur pantau memperlihatkan bahwa akuifer tertekan dengan kedalaman akuifer 40 - 140 meter memiliki potensi airtanah dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan akuifer tidak tertekan (kedalaman 0-40 meter).
Sebelumnya, tahun 2016 BKAT melakukan uji infiltrasi di 70 titik pengukuran untuk mengetahui seberapa cepat air hujan dapat meresap kedalam tanah atau akuifer, dari hasil pengukuran laju infiltrasi di wilayah CAT Jakarta berkisar antara 7,18 x 10-5 sampai 1,72 x 10-2 cm/detik dengan kategori infiltrasi tanah sedang sampai lambat.