Komnas Perlindungan Anak menyatakan tahun 2013 merupakan tahun darurat kekerasan seksual pada anak, mengingat kian meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual.
Peristiwa kejahatan ini memaksa Komite Nasional Perlindungan Anak 'turun gunung' ke daerah-daerah untuk memberi pengarahan dan mencarikan solusi untuk mengatasi persoalan itu.
"Tahun darurat kekerasan seksual pada anak akan terjadi bila pemerintah hanya berdiam diri," demikian Sekjen Komnas PA Aris Merdeka Sirait saat berkunjung dan menggelar pertemuan dengan Komisi Perlindungan Anak (KPS) Daerah Provinsi Riau.
Komnas PA bahkan mencatat, selama tahun 2012 lembaga ini telah menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terhadap tindakan kekerasan pada anak sebanyak 2.637 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62 persen atau 1.526 kasus merupakan tindakan kekerasan seksual pada anak.
Angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 2.509 kasus. Dari jumlah tersebut, 52 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual pada anak.
Dari rangkuman data tersebut, sangat jelas bahwa kasus kekerasan seksual pada anak mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 10 persen sepanjang tahun 2012 dibandingkan tahun 2011.
Sekjen Komnas PA, Aris Merdeka Sirait memprediksikan tahun 2013 ini akan menjadi tahun darurat kekerasan seksual pada anak jika tidak dilakukan upaya-upaya konkrit sejak dini.
"Untuk itu, semua pihak baiknya terlibat secara langsung, turut serta mengatasi persoalan ini agar tidak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Lindungi anak dengan cara yang cermat," katanya.
Menurut Aris, tindakan kekerasan pada anak atau tindakan kekerasan seksual pada anak biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Oleh karena itu, lanjutnya, para orang tua harus mengawasi anak-anaknya dengan ekstra.
Selain itu, demikian Aris, pemerintah juga harus aktif dalam upaya mengatasi persoalan ini, salah satunya dengan melakukan pembinaan terhadap para orang tua melalui sosialisasi per media atau bahkan mengadakan seminar hingga pada tingkat pemerintahan terendah.
"Kalau seandainya hal itu tidak dilakukan, maka tahun ini jumlahnya akan semakin meningkat," ujarnya.
Kunjungan Komnas
Terkait dengan hal itu pula, demikian Aris, pihaknya berkunjung ke Provinsi Riau untuk menawarkan solusi mengatasi masalah tersebut melalui seminar dan sosialisasi secara langsung.
Aris mengaku kunjungan ke Pekanbaru adalah wujud keprihatinannya atas maraknya kekerasan fisik bahkan tindak seksual terhadap anak di bawah umur di wilayah ini.
"Saya kurang tahu persis berapa jumlah kasus untuk di Riau. Namun yang jelas jika diurutkan, berada di peringkat keenam terbanyak kasus kekerasan seksual terhadap anak," katanya.
Menurut dia, kejadian itu sangat disayangkan karena tindakan pelaku secara tidak langsung juga merebut 'lahan' para generasi penerus bangsa di mana seharusnya mereka bersekolah, bermain dengan sebaya, dan bermanja dengan orang tua.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Riau mencatat, kasus kekerasan terhadap anak di wilayah ini setiap tahun juga terus meningkat.
Lembaga ini merangkum, sepanjang tahun 2011, di Riau dilaporkan ada sebanyak 40 kasus di tahun 2011 sementara di tahun 2012 justru mencapai lebih dari 50 kasus.
Menurut pejabat Pemerintah Provinsi Riau, tingginya angka kekerasan terhadap anak ini disebabkan pola didik orang tua dan sekolah yang belum begitu baik.
Dikabarkan pula, kekerasan terhadap anak yang terjadi di Provinsi Riau juga beragam modus. Mulai dari kekerasan fisik, pencabulan dan penekanan mental yang kurang baik di lingkungan permainan hingga sekolah dan rumah tangga.
Contoh Kasus
Contoh kasus kejahatan seksual terhadap anak di Riau bahkan baru saja terjadi di pekan ini. Dimana seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang masih berumur 15 tahun tega melakukan tindak sodomi terhadap bocah enam tahun tetangganya.
Akibat ulahnya, Js (15), remaja warga Pekanbaru, Riau, ini terancam dihukuman 15 tahun penjara setelah ditangkap melakukan sodomi terhadap seorang bocah.
Kapolsek Tampan Kompol Muhammad Idris di Pekanbaru mengatakan, saat diinterogasi, pelaku mengakui perbuatannya bahkan sudah berulang kali dilakukan kepada korban yang kini mengalami trauma.
Penangkapan terhadap pelaku kata Kompol Idris, berawal dari adanya laporan orang tua korban ke Mapolsek Tampan, beberapa hari lalu.
Dalam laporannya, kata dia, orang tua korban curiga dengan tingkah laku anaknya yang terkesan aneh dan tidak seperti biasanya.
"Selain itu, tiap kali buang air besar, korban selalu merintih kesakitan. Ketika diperiksa, ternyata dubur korban terluka," kata Kapolsek.
Sebelum dilakukan penangkapan terhadap pelaku, demikian Idris, pihaknya sempat melakukan penyelidikan beberapa waktu.
"Termasuk juga mengintai keberadaan pelaku. Jangan sampai kabur," katanya.
Setelah semuanya dapat dibuktikan, kata dia, dan pelaku telah terdeteksi keberadaannya, anggota kemudian langsung melakukan penangkapan.
"Atas pebuatannya itu, tersangka dijerat dengan pasal 82 Undang-undang tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun kurungan penjara," ujarnya.
Karakter Gagal
Kriminolog Riau, Sahrul Akmal Latief, mengatakan, fenomena maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak merupakan gambaran gagalnya penerapan pelaksanaan pendidikan karakter dalam membentuk bangsa yang bermartabat dan berwibawa.
"Maraknya berbagai fenomena kasus kekerasan seksual terhadap anak usia sekolah dan maraknya kenakalan remaja menjadi indikator gagalnya pendidikan karakter tersebut," paparnya.
Bahkan menurut dia, saat ini di Indonesia sudah memasuki kondisi kronis moral hingga terus terjadi perbuatan-perbuatan amoral.
"Pemerintah harus segera melakukan evaluasi yang komperhensif terkait pelaksanaan pendidikan karakter atau muatan moral yang mengejawantahkan sistem pendidikan nasional," paparnya.
Menurutnya pula, evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah sangat berguna untuk memastikan persiapan implementasi pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 nanti.
Untuk memberi efek jera, demikian Akmal, sebaiknya juga aparat penegak hukum mengusut tuntas setiap kasusnya.
"Para pelaku harus mendapat hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatannya yang tega merusak masa depan anak," kata Akmal.
Sewajarnya memang pemerintah dan aparat kepolisian turun jauh untuk mengatasi persoalan yang seakan telah menggurita ini.
Karena kejahatan seksual bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan menimpa terhadap siapa saja, bahkan pelakunya sangat dimungkinkan merupakan orang terdekat korban.
Bebaskan anak dari kejahatan seksual
Sabtu, 9 Maret 2013 13:51 WIB 2065