Jakarta (ANTARA) - Masih segar dalam ingatan Nathalia Pamean (45) saat kelompok kriminal bersenjata (KKB) menyerang kios,dan permukiman pendatang di Kampung Julukoma, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua pada 8 April lalu.
Serangan tersebut, malangnya, menelan korban jiwa yang tak lain adalah suaminya sendiri, seorang guru honorer Sekolah Dasar Jambul bernama Oktovianus Rayo (42).
Nathalia saat tengah bermalam di Balai Besar Pendidikan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Regional V di Makassar, Selasa (20/4), menceritakan kejadian mencekam tersebut.
Dia mengaku hanya tinggal berdua bersama suaminya di kios tersebut. Saat penyerangan terjadi, dia mendengar tembakan sebanyak dua kali di dapur.
Terbersit dalam pikiran Nathalia saat itu adalah bagaimana bisa bersembunyi untuk menyelamatkan diri di kiosnya yang telah terkepung. Terdengar suara kaca pecah karena tembakan, pintu yang ditendang berkali-kali.
Nathalia kemudian bersembunyi di sebuah kamar kecil di ruang tengah kiosnya. Di sana, dia hanya bisa berdoa agar tak ditemukan KKB dan segera mendapat pertolongan.
Beruntung, Nathalia diselamatkan para pendeta untuk mengungsi ke rumah anggota Koramil Beoga di lereng. “Selesai dievakuasi, jam 17.00 WIT sore rumah-rumah di atas dibakar, hujan keras (lebat). Dari bawah kelihatan gelap sudah, habis rata dengan tanah,” ujar dia.
Namun nasib malang menimpa Oktovianus yang tertembak anggota KKB. Jenazahnya kemudian dipulangkan ke Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan setelah pasukan KKB di Distrik Beoga dipukul mundur pasukan TNI-Polri.
Pengabdian luar biasa
Nathalia mengingat suaminya Oktovianus sebagai sosok pendidik yang tulus dan ikhlas, mencerdaskan anak-anak di Kabupaten Puncak, Papua, di mana kawasan tersebut sangat minim sekali adanya guru.
Hal itu membuat dia dan suami, serta banyak pendatang dari Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan, memilih mengabdi menjadi guru di sana.
“Anak-anak di Puncak banyak belum tahu membaca, berhitung, bahasa Indonesia,” kata Nathalia.
Oktovianus telah 11 tahun mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di Sekolah Dasar Jambul. Sekolah tersebut hanya terdapat tiga orang guru saja, sehingga dia menjadi guru kelas 1, 2 dan 3.
Jarak dari kios ke sekolah tersebut sekitar empat kilometer pendakian dengan menggunakan motor di jalan rintisan. Dahulu, pada kurun waktu 2010-2014, Oktovianus mesti melewati jalan setapak mendaki untuk mengajar.
Pengabdian luar biasa Oktovianus tersebut membuat hati kecil Nathalia yang tidak memiliki latar belakang pendidikan guru, juga tergerak untuk mengajar di SMP Negeri 1 Beoga. Di sana, ia turut mengajar Bahasa Indonesia, Seni Budaya dan Agama Kristen.
Mereka pun tak sempat memikirkan untuk pulang ke kampung halaman di Kabupaten Toraja, Sulawesi Selatan. Hanya sesekali saat waktu liburan tiba, pasangan tersebut turun ke Kota Timika, menemui kelima anak mereka yang bersekolah di sana.
“Almarhum benar-benar ingin anak-anak di atas betul-betul bisa membaca, menulis, apa yang mereka enggak tahu, bisa diajarkan,” ujar dia.
Atas pengabdian dan aktivitas kemanusiaan yang dilakukan Oktovianus semasa hidupnya, Menteri Sosial Tri Rismaharini memberikan penghargaan khusus.
Penghargaan tersebut juga diberikan untuk mendiang Yonatan Renden, seorang guru yang juga ditembak KKB pada Jumat (9/4).
Risma memberikan penghargaan atas dedikasi para guru tersebut dalam pengabdian sosial untuk kemanusiaan di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua. Selain itu, dia juga memberikan santunan atas bencana sosial tersebut.
Penghargaan tersebut sedikit memberi arti bagi kehidupan keluarga yang ditinggalkan Oktovianus. Nathalia pun bersyukur atas kunjungan Mensos Risma dan pemberian penghargaan tersebut.
Pesan perdamaian
Penghargaan tersebut diberikan sebagai bentuk apresiasi setinggi-tingginya atas nama pemerintah, karena telah membuka jalan bagi anak-anak di Papua mendapat pendidikan dan menjadi lebih baik.
Risma mengatakan pemerintah telah menggelontorkan dana otonomi khusus (otsus) yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan kehidupan masyarakat setempat. Namun, ada pula pihak-pihak yang tidak merasa puas.
“Padahal para guru tersebut yang menjadi korban tersebut sudah ikhlas berada di tempat yang sangat jauh untuk membangun anak-anak di sana bisa lebih baik, ” ujar mantan Wali Kota Surabaya itu melanjutkan.
Dia pun mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memberikan beasiswa pada anak-anak yang ditinggalkan dua guru tersebut.
Dalam kunjungannya ke Makassar, Risma juga memberikan santunan kepada pengemudi ojek daring yang tertembak KKB, Udin, mengunjungi korban luka berat dan luka ringan ledakan bom bunuh diri di Gereja Kathedral Hati Yesus Yang Maha Kudus, serta memberi santunan kepada mereka.
Kedatangan rombongan Kementerian Sosial tak lain membawa pesan perdamaian kepada warga yang terdampak bencana sosial, guna meningkatkan semangat gotong-royong, mencegah terjadinya kembali dampak bencana sosial serta meningkatkan komitmen masyarakat untuk menjaga perdamaian.
Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 07 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Kementerian Sosial hadir untuk menjaga dan merawat harmonisasi kebangsaan.
Risma berpesan, sudah tidak saatnya lagi masyarakat Indonesia di masa kemerdekaan membicarakan lagi adanya perbedaan.
"Saat dijajah kita perlu bersama, jadi kalau sekarang kita ngomong perbedaan itu bukan saatnya lagi. Mari kita bayangkan korban tidak bisa bekerja, sakit, anak-anak bisa jadi kehilangan orang tua. Apakah harus seperti itu menyiksa orang?” katanya.
Setelah mengucapkan duka cita yang mendalam, Risma mengingatkan segenap komponen bangsa agar tidak saling mendendam, terutama untuk keluarga korban bencana sosial tersebut.
Berkaca dari pengalamannya saat menghadapi serangan bom bunuh diri di Surabaya, Risma menginginkan agar seluruh pihak tidak mendendam dan mengikhlaskan atas semua yang terjadi, serta saling bergandengan tangan sehingga mampu melewati situasi sulit.
Siapapun yang memiliki hati nurani, pasti tak akan membenarkan penembakan keji KKB terhadap guru yang dengan niat mulia, mencerdaskan anak-anak bangsa di wilayah tertinggal Kabupaten Puncak, Papua.
Kehilangan sosok guru seperti Oktovianus Rayo dan Yonatan Renden tentunya tak hanya menghilangkan kesempatan generasi Indonesia mengenyam pendidikan, tetapi juga berdampak pada kehilangan langkah dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan di masa mendatang. Sekali lagi, jangan ada lagi tindak keji untuk para guru di Papua!