Bandung (ANTARA Bengkulu) - Semenjak krisis moneter melanda Bangsa Indonesia tahun 1998 serta ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF, di dalamnya dinyatakan Pemerintah Indonesia tidak diperkenankan mengucurkan dana lagi ke PT Dirgantara Indonesia (Persero).
Sejak saat itu, PTDI mengalami pasang surut dalam mengelola bisnis rancang bangun dan pembuatan (manufacturing) pesawat terbang. Berbagai program telah dibuat dan sudah dijalankan namun hal itu tidak membantu PTDI untuk mampu bangkit dari keterpurukannya.
Kondisi keuangan perusahaan terus memburuk akibat masih terganjalnya PTDI oleh hutang-hutang masa lalu. Bahkan cerita sedih berlanjut pada tahun 2007, PTDI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta akibat pengaduan beberapa orang mantan karyawan.
Akhir tahun 2007 PTDI memenangkan Kasasi di Mahkamah Agung dan dapat beroperasi seperti sebelumnya. PTDI mencoba untuk bangkit kembali. Namun PTDI tetap tidak mampu untuk mengembangkan bisnisnya, roda bisnis PTDI tidak bisa berjalan dengan lancar.
PTDI berjalan terseok-seok. Penyebabnya adalah PTDI tidak mendapatkan suntikan dana dari manapun untuk mendukung operasional. Akibatnya neraca keuangan Perusahaan tetap merah, cash flow perusahaan tetap negatif.
Faktor yang menyebabkan terjadinya defisit "cash flow", di antaranya perusahaan mengalami kesulitan likuiditas dalam membiayai kontrak-kontrak yang sudah didapat pada tahun sebelumnya dan tidak tersedianya modal kerja yang cukup serta adanya beban hutang masa lalu.
Dengan dilakukannya program Restrukturisasi dan Revitalisasi (R/R) PTDI oleh pemerintah, sekaligus menunjuk PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk melaksanakan proses R/R tersebut.
Juga, beberapa usaha telah membuahkan hasil yaitu telah didapatkannya bridging dana sebesar Rp.675 miliar yang digunakan PTDI untuk menutup defisit "cash flow" serta digunakan untuk biaya operasional lainnya hingga akhir tahun 2011.
Di samping itu, hutang PTDI sebesar Rp3,8 triliun telah dikonversikan menjadi PMN non cash. Dengan telah diterapkannya program R/R, memberikan nilai ekuitas perusahaan menjadi positif sehingga PTDI dinyatakan sebagai perusahaan yang bankable (sehat).
Sebagai tindak lajut program R/R selanjutnya, saat ini (dan tidak lama lagi) PTDI sedang menunggu kucuran dana cash sebesar Rp1 triliun dari rencana Rp2 triliun yang telah disetujui oleh pemerintah sesuai Business Plan PTDI yang telah dipaparkan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Badan Anggaran DPR Komisi VI tahun lalu.
Dengan diperolehnya dukungan penuh dari pemerintah terhadap keberadaan PTDI sebagai salah satu industri strategis yang dimiliki pemerintah, maka diharapkan PTDI akan banyak berbicara di forum internasional dengan produk-produknya yang semakin tersebar.
Dengan adanya program R/R, saat ini PTDI telah mendapatkan kepercayaannya kembali. PTDI kini mencoba bangkit. Di masa-masa mendatang diharapkan bisnis PTDI semakin berkembang sehingga dapat memberikan kontribusi kepada Negara terutama dalam mendorong pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia.
Sebagai wujud nyata komitmen pemerintah dan juga kebutuhan kepedulian airline swasta nasional, PTDI telah mendapatkan beberapa kontrak pembelian pesawat terbang, di antaranya pesawat C295 sebanyak sembilan unit dari Kemhan dan 20 pesawat N219 untuk PT NBA dengan option 10 unit.
Seiring dengan dukungan pemerintah terhadap industri strategis nasional, PTDI juga telah mendapatkan pesanan tujuh unit helikopter Bell-412 dari Kemhan dan telah menyelesaikan dua unit ke TNI AD serta satu unit ke TNI AL. Selain itu, pesawat CN235 KCG pesanan dari Pemerintah Korea Selatan telah diserah terimakan semuanya, yaitu sebanyak empat unit pesawat.
Masih sangat terbuka kemungkinan Korea Selatan akan menambah lagi pesanan pesawat CN235. Demikian pula dengan TNI AL, saat ini tengah dikerjakan tiga unit CN-235 MPA untuk TNI Angkatan Laut.
CN235 merupakan produk unggulan PTDI yang bekerja sama dengan Airbus Military (dulu CASA Spanyol), mulai masuk pasar tahun 1986. Disamping dioperasikan untuk kepentingan misi-misi militer juga untuk sipil.
Sampai saat ini sudah kurang lebih 300 pesawat CN235 dioperasikan di berbagai negara di dunia. Pemesan yang langsung ke PTDI sudah mencapai enam unit, dengan rincian TNI-AU sembilan unit, Tentara Udara Brunei Darrusalam satu unit. Tentara Udara Diraja Malaysia delapan unit.
Lainnya, Angkatan Udara Korea Selatan (delapan), Kepolisian Korsel (empat), AU Pakistan (empat), AU Emirat Arab (tujuh), AU Burkina Faso (satu), AU Aenegal (dua), Departemen Pertanian Thailand (dua), Merpati Nusantara (15) dan TNI AL (tiga unit, dalam proses penegerjaan).
Kemitraan ini diharapkan akan memungkinkan PTDI dapat meningkatkan bisnis kedirgantaraannya, mengingat Airbus Military menguasai 43 persen pasar global untuk pesawat kecil dan menengah.
Dengan didapatkannya kembali kepercayaan dari berbagai lapisan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, masa depan PTDI memperlihatkan tanda-tanda yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Kebutuhan customer akan produk-produk dan jasa PTDI terus meningkat. Dengan semakin sehatnya kondisi PTDI khususnya dalam segi keuangan, tentu akan menambah semakin dipercaya oleh dunia perbankan, baik perbankan dalam negeri maupun luar negeri.
Sehingga hal ini akan memberikan kondisi yang semakin kondusif, stabil dan PTDI akan tumbuh berkembang dalam tahun-tahun mendatang. Semoga.
*Penulis adalah Kepala Humas PT Dirgantara Indonesia (Persero)
(T.E004/S023)