Bondowoso (ANTARA) - Puasa Ramadhan yang wajib dijalani Umat Islam dalam satu bulan adalah latihan diri untuk menyelami jiwa agar selalu berada dalam posisi keluhuran.
Mencegah makan dan minum pada siang hari serta hal-hal lain yang dilarang dalam puasa adalah sarana mendidik jiwa untuk tidak selalu terjebak dalam keinginan-keinginan yang bersumber dari ego, kata lain untuk menyebut nafsu.
Setelah satu bulan dididik menahan hawa nafsu, dalam penegasan Nabi Muhammad merupakan jihad besar (jihad melawan hawa nafsu), Muslim merayakan kemenangan dalam momen Idul Fitri.
Pada saat Lebaran tiba, Muslim di seluruh dunia menggemakan takbir, Allah Maha Besar. Takbir merupakan bentuk penegasan bahwa manusia bukan siapa-siapa, meskipun secara kemakhlukan merupakan hasil ciptaan terbaik dengan predikat wakil Allah di muka Bumi alias "khalifah fil ardl".
Momen Lebaran dengan gema takbir di mana-mana bukan bentuk pengakuan diri bahwa manusia yang menjalani ibadah puasa selama satu bulan itu sah menjadi hamba yang menang. Lebaran dengan takbirnya juga sekaligus ajakan bagi umat Islam untuk merenung sekaligus menyempurnakan pendidikan jiwa lewat puasa, termasuk di dalamnya menunaikan kewajiban zakat fitrah, untuk selalu berada dalam posisi jiwa hanya mengakui Allah yang Maha Besar. Keberadaan yang lainnya adalah semu belaka. Manusia yang memanggul amanah sebagai wakil-NYA untuk mengatur kehidupan di jagad semesta ini tidak boleh lagi terjebak dalam buaian ego, termasuk mendaku sebagai yang paling baik antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Perbedaan Hari Raya Idul Fitri tahun ini adalah juga sarana introspeksi apakah kita sudah betul-betul hanya mengakui Allah yang Maha Besar, bukan yang lainnya, apalagi hanya menunjukkan diri bahwa organisasi dan pilihan pahamnya yang paling benar.
Sikap saling penerimaan ini bukan hanya dimaknai tidak saling menghujat, baik di dunia nyata maupun di jagad maya. Menerima perbedaan ini harus berangkat dari jiwa yang bersih dan tulus bahwa berlebaran pada Jumat (21/4) dan Sabtu (22/4) sama-sama memiliki landasan kebenaran. Kalau selembar daun jatuh dari tangkainya selalu berada dalam genggaman kekuasaan Allah, apalagi munculnya perbedaan hari raya yang di dalamnya ada hajat jutaan manusia Muslim di muka Bumi ini.
Penetapan dari Muhammadiyah bahwa 1 Syawal jatuh pada 21 April 2023 pasti menggunakan kaedah agama, bukan kaedah lain yang menyimpang dari agama. Demikian juga dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang kebetulan sama dengan Pemerintah menetapkan Idul Fitri pada 22 April, bukan berdasarkan karangan yang bertentangan dengan prinsip agama.
Perbedaan berlebaran ini juga menjadi perhatian dari ulama besar KH Ahmad Bahaudin Nursalim atau Gus Baha. Ulama muda yang tausiyahnya banyak digemari karena menyampaikan ajaran agama dengan santai itu mengingatkan umat untuk tidak terseret dalam prasangka-prasangka, lebih-lebih ke ranah politik, misalnya menganggap Pemerintah kini lebih memihak pada NU.
Jangankan hanya perbedaan dalam Idul Fitri, bahkan perbedaan imanpun juga berjalan dalam genggaman skenario besar-NYA.
Allah berfirman, "Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di Bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?" (QS Yunus: 99)
Dalam konteks sosial budaya, Muslim Indonesia mengenal fenomena tahunan setiap akhir Ramadhan, yakni mudik. Ritual massal ini memiliki banyak implikasi pada berbagai aspek kehidupan, seperti saling silaturahmi dan maaf memaafkan, juga menyangkut pemerataan ekonomi karena mereka yang mudik akan membelanjakan sebagian uangnya saat berada di kampung halaman. Lewat fenomena mudik, uang tidak hanya berputar di kota-kota, tapi juga merembes ke kampung-kampung dan desa-desa.
Maka, jika mudik ini hanya dimaknai sebagai gebyar kesenangan, kita sebetulnya tidak layak memosisikan diri sebagai umat yang telah meraih kemenangan lewat puasa Ramadhan. Mudik, justru bisa jadi merupakan ajang untuk mengingkari nilai pendidikan bagi jiwa dalam puasa. Bagaimana mungkin jiwa yang sudah terbersihkan lewat puasa masih memiliki hasrat untuk pamer kekayaan, jabatan dan kepemilikan-kepemilikan semu lainnya, saat mudik ke kampung halaman?
Sudah waktunya kita memaknai mudik dengan bingkai spiritual, yakni mudik ke dalam diri. Dalam konteks tasawuf dikenal dengan istilah sebagai "tafakur" atau merenung serta "tazkiyatun nafs" (membersihkan jiwa). Bahkan agama menegaskan bahwa "tafakur" itu lebih baik daripada ibadah puluhan tahun.
Mudik ke dalam diri juga menjadi sarana untuk "muhasabah" atau introspeksi diri, apakah puasa atau ibadah kita yang lainnya sudah betul-betul bersandar kepada Allah atau masih banyak selipan ego dalam ibadah itu yang berpaling dari-NYA? Bisa jadi ibadah kita dibersiti hasrat terkait keduniaan, seperti untuk mengejar jabatan, peningkatan ekonomi, dan lainnya. Bisa jadi juga dengan ibadah selama ini justru membawa kita pada sikap sombong, lewat membandingkan ibadah kita dengan ibadah orang lain.
Mudik ke dalam diri ini memerlukan ketulusan untuk mendeteksi getaran-getaran halus dan jujur pada diri. Kalau dalam mudik ke dalam diri itu kita temukan posisi jiwa kita belum berada di "istana" yang hanya mengakui kebesaran Allah, maka banyak kaum sufi menganjurkan untuk meng-istighfar-i bergesernya hati ke dalam jebakan nafsu itu.
Menyikapi perbedaan dalam Idul Fitri ini, Muslim Indonesia tentu lebih mudah untuk memilih posisi jiwa yang dengan mudah menghargai perbedaan. Selama satu bulan di masa Ramadhan, antara Muslim yang berafiliasi ke NU dengan Muhammadiyah juga berbeda, yakni menyangkut jumlah rakaat dalam Shalat Tarawih. Di ranah ibadah wajib, bukankah perbedaan NU dengan Muhammadiyah juga ada yang tidak sama, yakni tata cara dalam Shalat Jumat?
Takbir dengan lafal lengkap "Allahu Akbar" saat menyambut Idul Fitri, semestinya memudahkan kita untuk mudik ke dalam diri dengan menerima segala perbedaan secara lapang dan saling menyayangi. Semua yang terjadi adalah sesuai kehendak-Nya.
Selamat mudik, baik mudik sosial maupun mudik ke dalam diri dan selamat ber-Idul Fitri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Idul Fitri dan mudik ke dalam diri