Jakarta (ANTARA) - Lonjakan suhu tinggi yang mencapai 37 derajat Celcius di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, dan juga berbagai daerah di Tanah Air belakangan ini, tengah menjadi sorotan publik. Kondisi yang sama juga terjadi pada sebagian wilayah Asia.
Badan meteorologi di negara-negara Asia seperti Bangladesh, Myanmar, India, China, Thailand, dan Laos melaporkan peningkatan suhu hingga mencapai lebih dari 40 derajat Celcius yang terjadi selama beberapa hari.
Kendatipun yang terjadi bukan tergolong gelombang panas seperti yang melanda sebagian daratan Asia, fenomena itu erat keterkaitannya dengan pengaruh perubahan iklim.
Bahkan, World Bank dalam Heat Index 2021 yang dirilisnya, menyebut bahwa kondisi suhu di atas 35°C merupakan kondisi yang membahayakan bagi kesehatan manusia.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti halnya asidifikasi air laut, peningkatan suhu permukaan air laut, kenaikan permukaan air laut, dan intensitas terjadinya gelombang pasang atau tsunami. Terlebih, kondisi sumber daya laut dan pesisir kita sedang tidak baik-baik saja.
Hasil survei LIPI tahun 2020 menyebut satu pertiga dari terumbu karang di Indonesia dalam kondisi rusak. Bahkan disebutkan oleh Burke et al. (2012) sekitar 80 persen dari terumbu karang terancam mengalami coral bleaching karena dampak perubahan iklim. Demikian juga dengan kondisi mangrove, Goldberg et al. (2020) dalam jurnal yang bertajuk Global Declines in Human-driven Mangrove Loss menjelaskan laju penurunan mangrove di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di dunia yaitu mencapai 6.200-52.000 hektare per tahun.
Fenomena lain seperti penumpukan sampah plastik juga menjadi serangkaian mimpi buruk bagi kelestarian sumber daya laut. Merujuk data APEC pada tahun 2020, kerugian ekonomi Indonesia akibat limbah plastik di perairan mencapai 450 juta dolar AS per tahun.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat dari total volume sampah tahun 2022 sebanyak 19,45 juta ton, sebesar 18,55 persen disumbang oleh sampah plastik.
Lintas Batas
Karena dampak perubahan iklim yang bersifat global, maka diperlukan kerja sama lintas batas negara sebagai bentuk upaya mitigasi bahkan adaptasi. Archipelago State Island (AIS) Forum hadir sebagai forum strategis dan taktis untuk menyatukan sumber daya dalam mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim.
AIS Forum dideklarasikan di Manado pada tahun 2018 dengan melibatkan 47 negara pulau dan kepulauan dari seluruh dunia.
Sejak pendiriannya, telah disepakati bersama empat agenda utama, yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, ekonomi biru, penanganan sampah plastik, dan tata kelola kemaritiman.
Keempat isu tersebut merupakan hal yang jamak terjadi di negara-negara kepulauan.
Teranyar, AIS Forum diselenggarakan berbarengan dengan KTT G 20 di Bali tahun lalu telah bersepakat untuk menggaungkan suara negara pulau dan kepulauan di berbagai forum internasional agar mendukung upaya membatasi peningkatan suhu global 1,5 derajat Celcius dari pre-industrial level dan mencapai hasil aksi iklim dan lingkungan yang ambisius sesuai kesepakatan dalam kerangka Perubahan Iklim PBB atau United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD).
Arahan Presiden
Kendatipun demikian, komitmen bersama tersebut perlu dikawal hingga tahap implementasi. Terlebih pada bulan September mendatang Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan Pertemuan Tingkat Menteri untuk AIS Forum.
Sebagai pedomannya, Presiden memberikan arahan khusus dalam acara Ekspose Nasional Monitoring dan Adaptasi Perubahan iklim 2022 yang telah diselenggarakan oleh BMKG secara daring pada 30 Maret 2022.
Lebih lanjut, arahan Presiden tersebut mencakup empat hal utama. Pertama, segera memformulasikan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta mempersiapkan penanggulangan dampak negatifnya.
Formulasi kebijakan dalam bentuk peta jalan (roadmap) mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang mencakup seluruh aspek akan menjadi pedoman kerja-kerja kolaboratif seluruh elemen bangsa.
Kedua, pengembangan sistem peringatan dini yang andal dengan menyediakan data dan informasi meteorologi, klimatologi, dan geofisika secara cepat dan akurat. Informasi ini sangat berfaedah untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan di laut karena cuaca ekstrem.
Terlebih bagi nelayan tradisional dan skala kecil yang sangat rentan terhadap dinamika iklim maupun sosial ekonomi. Apalagi jumlah mereka yang mendominasi hampir 90 persen sebaran nelayan di Indonesia, masih menjadi sebagian besar potret kemiskinan di Indonesia.
Ketiga, diperlukan sistem edukasi kebencanaan yang berkelanjutan. Sistem ini dapat diterapkan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal.
Pendidikan formal dapat dimulai dari pendidikan anak usia dini hingga SMA atau sederajat. Untuk nonformal, edukasi dapat dilakukan melalui berbagai komunitas baik kepemudaan, pegiat lingkungan, seniman, pengusaha, hingga organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.
Keempat, memperkuat kolaborasi lintas kementerian/lembaga, swasta, dan berbagai elemen bangsa lainnya dalam adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Kerja-kerja bersama akan lebih menghasilkan dampak yang lebih luas dan akan memperkecil ruang-ruang keterbatasan sumberdaya.
Empat arahan Presiden tersebut perlu pengejawantahan secara konkret. Tiga dari empat arahan Presiden dapat dieskalasi menjadi agenda bersama dalam Forum AIS dalam satu model: pemanfaatan Informasi dan teknologi untuk edukasi dan sistem peringatan dini kebencanaan.
Sementara untuk arahan kolaborasi lintas K/L, menjadi agenda domestik yang senantiasa harus terus dibenahi dan terus diperluas jangkauannya.
*) Niko Amrullah adalah Tenaga Ahli Bidang Kemaritiman Kantor Staf Kepresidenan RI
Editor: Achmad Zaenal M
AIS Forum dan agenda perubahan iklim
Rabu, 3 Mei 2023 14:09 WIB 898