Jakarta (ANTARA) - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengkritisi wacana pengembangan Program Polisi RW secara nasional karena secara teknis sekadar bombastis dan tidak realistis.
"Wacana pengembangan Program Polisi RW secara nasional yang dikampanyekan oleh Kabaharkam, menunjukkan kegagalan program pemolisian masyarakat atau community of policing (CoP)," kata Bambang dalam keterangan yang dibagikannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Bambang menjelaskan bahwa CoP atau pemolisian masyarakat merupakan pembangunan partisipasi masyarakat di bidang keamanan dalam sistem keamanan rakyat semesta.
Pembangunan partisipasi keamanan masyarakat itu, kata dia, ujung tombaknya adalah bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (bhabinkamtibmas).
Program Polisi RW, menurut dia, tak lain mereduksi pembangunan partisipasi keamanan masyarakat dengan ujung tombaknya bhabinkamtibas yang belum berhasil direalisasikan.
Bambang menuturkan bahwa keberadaan bhabinkamtibmas saat ini masih menjangkau 46,4 persen desa/kelurahan di seluruh pelosok Indonesia.
Ia menyebutkan saat ini terdapat 8.506 kelurahan, 74.961 desa di seluruh Indonesia, sedangkan jumlah bhabinkamtibmas sebanyak 38.593 personel, atau baru menjangkau 46,4 persen dari total desa/kelurahan di Indonesia sebanyak 83.147 desa/kelurahan.
Dengan pengembangan Program Polisi RW secara nasional, kata Bambang, artinya akan ada peningkatan jumlah personel kepolisian setingkat bhabinkamtimas sebanyak 10 kali lipat.
Sementara itu, jumlah polisi seluruh Indonesia saat ini tercatat baru 412.818 personel. Dari jumlah itu, sebanyak 21.624 personel bertugas di Mabes Polri.
Program Polisi RW ini akan menempatkan personel dari semua satuan untuk menjadi Polisi RW di lingkungan. Hal ini, lanjut dia, sesuai dengan arahan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo. Artinya, bila tidak ada penambahan jumlah personel polisi yang signifikan, akan ada tambahan beban kerja dan tugas baru.
"Padahal, personel yang sudah sudah punya beban di satuannya masing-masing. Makanya, wacana ini secara teknis sekadar bombastis dan tidak realistis," ujarnya.
Di sisi lain, Bambang khawatir program ini berpotensi menjadi alat politik karena secara konsep seolah baik untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi, tidak secara konsep teori kekuasaan.
"Seperti dalam pendekatan Orwellian, polisi menjadi alat kontrol dan memata-matai aktivitas masyarakat," katanya.
Terlebih saat ini Indonesia sudah memasuki masa pemilihan umum. Kasus-kasus pengerahan aparat negara dalam pemenangan salah satu kandidat pemilu sudah sering terjadi.
"Harusnya menjadi pembelajaran agar tidak terulang lagi," kata Bambang.