Periset Ekologi dan Etnobiologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wawan Sujarwo sempat menyatakan bahwa penyusunan hutan di Indonesia setiap tahun terus mengalami peningkatan. Kondisi itu membuat jenis dan jumlah kayu yang hilang semakin pesat.
Jenis-jenis kayu butuh umur panjang untuk bisa dipanen lebih dari 25 tahun dan termasuk jenis berkembang cepat kisaran 10-15 tahun, sedangkan bambu sudah bisa dipanen dalam usia kurang dari 10 tahun.
Baca juga: Melestarikan tulisan tangan saat teknologi menawarkan kemudahan
Bambu yang mempunyai tipe pertumbuhan rumpun membuat tanaman itu cukup ditanam sekali dan bisa dipanen berkali-kali tanpa harus menghilangkan seluruh tegakan rumpunnya.
Dari segi harga, bambu lebih murah ketimbang kayu dan memiliki kekuatan serta keawetan menyamai kayu bahkan besi dan beton sekalipun.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bambu punya nilai HHBK yang lebih besar ketimbang kayu. Nilai HHBK bambu mencapai 90 persen, sedangkan kayu hanya menyumbang 10 persen dari produksi hasil kehutanan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan HHBK Unggulan, bambu ditetapkan sebagai salah satu dari enam jenis HHBK unggulan nasional.
Wilayah persebaran produksi bambu berada di Pulau Jawa mencapai 66,86 juta batang, Pulau Sumatra sebanyak 29.482 batang, dan Kepulauan Sunda Kecil sebanyak 30.872 batang.
Ketika kayu kian sulit dipakai untuk bahan baku konstruksi, maka bambu bisa menjadi substitusi kayu melalui produk bambu laminasi dengan menggabungkan beberapa bilah bambu menggunakan perekat organik.
Bambu yang cocok untuk bahan baku laminasi, yaitu bambu betung atau
Dendrocalamus asper, bambu andong atau
Gigantochloa pseudoarundinacea, bambu mayan atau
Gigantochloa robusta, dan bambu wulung atau
Gigantochloa antroviolacea.