Tokyo (ANTARA) - Tiga pesepeda Indonesia menempuh jarak 2.700 kilometer selama 12 hari dari Prefektur Kagoshima hingga Prefektur Aomori dalam ajang Japanese Odyssey 2023.
“Kebetulan saya bersepeda sendiri. Sehingga memasuki hutan pedesaan dan pegunungan rata-rata sendiri. Banyak sekali pengalaman yang didapat termasuk bersinggungan langsung dengan warga Jepang yang ramah,” kata Wisli Sagara, salah satu pesepeda di Tokyo, Rabu.
Selain Wisli, juga ada Aldian Candra dan Yudi yang turut serta dalam kegiatan tahunan internasional yang diikuti 57 pesepeda dari 15 negara tahun ini.
Peserta melintasi garis start di Kagoshima di kaki gunung Sakurajima yang terletak di ujung Selatan Pulau Kyushu menuju garis finis di Observatorium Ashigezaki di Hachione dengan melintasi 15 cek poin di jalur pegunungan dan daerah terpencil.
“Dari 12 hari ini dari segi fisik tidak ada masalah, kalau dari segi mental naik turun. Mulai dari kita gowes sampai malam-malam jam 12 malam di tempat yang sepi di hutan di gunung sendirian. Kemudian terkadang kami menghadapi cuaca yang sangat dingin,” kisah Aldian Candra.
Wisli Sagara dalam kegiatan ini menggunakan sepeda bambu Sepeda Pagi (Spedagi) tipe gravel Dalantrasah, karya perancang bambu Singgih Susilo Kartono dari Temanggung, Jawa Tengah.
Ajang itu sekaligus bagian dari “Kayuh untuk Bumi” (Pedal for Earth) yang merupakan kampanye global untuk sepeda bambu Indonesia yang diselenggarakan bersama Spedagi, Pertamina, dan Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL).
Kampanye itu bertujuan mempromosikan produk bambu inovatif serta menyoroti komitmen Indonesia terhadap Green Energy dan Green Mobility.
Para peserta dituntut untuk mandiri tanpa didampingi oleh panitia dengan hanya mengandalkan alat komunikasi dan sistem satelit navigasi dan penentuan posisi (Global Positioning System/GPS).
Meski demikian, dia mengaku mendapat banyak kemudahan selama perjalanan termasuk dari aparat polisi Jepang.
“Ada hal yang menarik, suatu kali saya saat di jalan highway rupanya saya tidak sengaja melewati jembatan yang ternyata menuju jalan tol sehingga saya diberhentikan oleh polisi Jepang dan dibawa ke kantor mereka. Tapi ternyata mereka sangat ramah sekali dengan menanyakan event yang saya lakukan ini dan apakah kondisi saya baik-baik saja,” tutur Wisli.
Hal senada disampaikan Aldian Candra yang mengaku berat secara mental, tetapi keramahan warga Jepang menjadi amunisi menuntaskan perjalanan.
“Saat itu kadang saya pingin menyerah. Kok berat sekali ya. Kenapa harus ikut event ini dan apa yang dicari? Tapi setelah itu esoknya saat pagi melihat sunrise pemandangan yang indah semua yang dirasakan saat malam terobati. Jadi ada semangat untuk lanjut lagi,” katanya.
Dia menuturkan dengan bersepeda ini bisa berinteraksi dengan warga Jepang secara langsung.
“Mereka sangat baik. Saat saya bertemu mereka saat istirahat, mereka ajak saya ngobrol. Mereka tanya dari mana. Meski dengan Bahasa Jepang melalui program translate saya bilang, oh, saya dari Indonesia,” katanya.
Keduanya menyebut Japanese Odyssey 2023 ini adalah jembatan komunikasi antar masyarakat Indonesia Jepang.
“Pengalaman luar biasa. Dengan bersepeda kami rasakan menjadi jembatan berbagai latar belakang dan budaya masyarakat Indonesia dan Jepang,” tegas Wisli.
Mereka menyelesaikan tantangan di ajang tersebut juga dengan menggunakan sepeda bambu Spedagi dengan varian roadbike, Dalanrata.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang Heri Akhmadi memastikan Japanese Odyssey 2023 bukan sekadar ajang menguji ketahanan bersepeda jarak jauh melainkan membuka ruang pemahaman antar masyarakat Indonesia dengan Jepang di usia 65 tahun ini.
“Jika boleh saya sebut keikutsertaan tiga warga Indonesia di ajang ini adalah sebagai bentuk diplomasi sepeda. Komunikasi persahabatan yang terbangun dengan warga Jepang sepanjang mereka bersepeda secara tidak langsung menjadi pemahaman bersama budaya antar masyarakat Indonesia – Jepang di tengah peringatan 65 tahun hubungan kedua negara," katanya.
Dia menambahkan ajang itu menjadi promosi karya kreatif anak bangsa melalui sepeda bambu.