Bila mendengarkan radio dari gawai yang terhubung internet, sangat besar kemungkinan audiens juga membuka media sosial, yang cenderung menyeret warganet untuk terus berselancar di media maya.
Ketika menatap layar, otot mata juga dipaksa bekerja lebih keras karena menyesuaikan dengan cahaya layar yang berpendar-pendar. Maka mendengarkan siaran radio dari perangkat khusus, seperti halnya membaca buku fisik, lebih sehat.
Ilmuwan Psikologi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, Aldani Putri Wijayanti, S. PSi. M.Sc., mengemukakan bahwa sebenarnya ketika mendengarkan--apa pun-- itu termasuk proses mental. Pendengaran melibatkan mekanisme otak yang kompleks dalam memproses suara, termasuk ucapan, musik, dan bunyi.
Baca juga: Radio terkenal Tunisia liput langsung upacara bendera di KBRI Tunis
Mendengarkan radio, utamanya program interaktif, atau musik yang diputar secara acak -- berbeda dengan daftar putar yang bisa kita atur seperti di layanan musik digital-- khususnya unsur refleksi emosi yang positif lewat lirik atau nada yang kita bisa terhubung dan menyukainya, karena ada kegirangan oleh sebab baru mendengarnya atau tidak sengaja mendengarnya.
“Ini menjelaskan kenapa kalau ada yang punya distress psikologis dan random memutar radio itu bawaannya bisa lebih enteng,” kata Alda.
Musik yang diperdengarkan secara acak juga memberikan stimulasi kognitif yang beragam, membantu otak tetap fleksibel dan terbuka terhadap pengalaman baru.
Program radio yang interaktif, memungkinkan pendengar merasa terhubung, tidak seperti menonton televisi atau layanan streaming film yang satu arah. Keterhubungan dan saling interaksi seperti kirim-kirim salam lewat radio dapat mengurangi perasaan kesepian dan meningkatkan kesejahteraan emosional (emotional wellbeing).
Menurut dosen Fakultas Psikologi Undip itu, keterlibatan aktif dalam program, seperti mengirim pesan atau berpartisipasi dalam diskusi, merangsang otak untuk berinteraksi sosial dan membangun empati.
"Journal of Happiness Studies" mengungkap, mendengarkan musik termasuk dari program radio bisa membuat hidup lebih puas dan bahagia.
Selama pandemi COVID-19 lalu, studi dari BBC Sounds bersama Universitas Sussex juga mengungkap bahwa mendengarkan radio membuat seseorang merasa tidak sendirian dan tetap merasa normal di tengah situasi yang serba tidak pasti.
Baca juga: KPI imbau TV dan radio tidak beri ruang untuk pelaku KDRT
Radio jadi teman setia yang membantu seseorang tetap waras dan bahagia, ujar pengurus Ikatan Psikologi Klinis – HIMPSI Jawa Tengah itu.
Sementara bagi penyiar, siaran radio memberi banyak tantangan. Karena bagaimana mengemas informasi atau acara secara menarik hanya dengan modal suara atau audio, itu membutuhkan keterampilan yang kompleks.
Tak heran bila radio menjadi semacam tempat penggemblengan para broadcaster. Banyak jebolan radio yang sukses berkarier di media penyiaran lain atau dunia hiburan. Nama seperti Indy Barends, Indra Bekty, Deddy Mahendra Desta, Nycta Gina, serta Sarah Sechan hanyalah beberapa dari deretan nama penyiar radio yang memiliki karier cemerlang di layar kaca.
Nostalgia di udara
Membentang sejarah kemunculan radio, kiranya dapat dimulai tahun 1895 ketika seorang penemu Italia Guglielmo Marconi untuk pertama kalinya membuat transmisi suara radio. Adapun perkembangan siaran radio di tanah air dimulai pada 16 Juni 1925 oleh Batavia Radio Vereniging (BRV) di Batavia atau Jakarta.