JAKARTA (ANTARA) - Merupakan media elektronik tertua di dunia, radio pada masanya pernah menjadi media primer yang efektif dalam membangun propaganda di sebagian besar negara. Di Indonesia, proklamasi kemerdekaan untuk pertama kalinya disiarkan melalui Radio Hoso Kyoku oleh Joesoef Ronodipoero yang dapat didengar ke seluruh dunia. Kemudian, Bung Tomo juga menggunakan radio untuk mengobarkan semangat perjuangan melawan sekutu pada Oktober--November 1945 di Surabaya.
Radio pada masa kini mungkin tak lagi menjadi media penyiaran unggulan di tengah gempuran teknologi komunikasi, tetapi radio tergolong media tangguh yang mampu bertahan eksis sampai hari ini. Dalam beradaptasi mengikuti perkembangan zaman stasiun radio pun terpaksa harus ikut hadir ke berbagai platform demi menjaganya tetap ada di antara audiens yang bertebaran di jagat digital.
Padahal, siaran radio secara tradisional seperti halnya membaca buku fisik, lebih banyak menawarkan manfaat kesehatan mental bagi para pendengarnya. Berbeda ketika siaran radio dinikmati melalui gawai, platform digital, dan dalam jaringan internet, maka fungsi terapinya akan berkurang bahkan hilang karena audiens radio dalam waktu bersamaan terpapar layar gawai dan terperangkap dalam aktivitas online yang berpotensi menimbulkan adiksi.
Baca juga: KPID pantau iklan kampanye di radio dan televisi agar sesuai aturan
Akan tetapi apa lacur, perkembangan teknologi memaksa semua jenis media bermigrasi ke platform digital tanpa terkecuali media berbasis audio seperti radio maupun media tulis.
Pakar komunikasi dari Universitas Hasanuddin Makassar, Mitha Mayestika Kuen, M.I.Kom berpandangan bahwa radio tidak lenyap karena mampu beradaptasi dengan teknologi modern.
Sudah semestinya radio melakukan transformasi digital untuk menyesuaikan dengan tuntutan pendengar era kekinian, termasuk menjadi wadah informasi yang menampilkan visual secara langsung dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
“Untuk tetap relevan, radio harus beroperasi di multiplatform kekinian seperti podcast dan media sosial sehingga dapat meningkatkan pencapaian target audiens dan mengembangkan kemampuan para penyiar,” kata Mitha.
Di antara gemerlap media layar kaca dan pesona media sosial, radio tetap memperoleh tempat tersendiri di hati para pendengar setia, karena berbagai kelebihannya dalam membangun kedekatan emosional dengan audiens.
Baca juga: Jadi juri Zayed Award 2024, Megawati diwawancara Radio Vatikan
Karena output siaran radio bersifat auditif sehingga membangun imajinasi. Radio dapat menciptakan theatre of mind dengan menggunakan kata-kata yang memvisualisasikan apa yang disampaikan sehingga pendengar dapat terbuai perasaannya saat mendengarkan (misalnya) drama radio.
Radio juga memiliki sifat partisipasif karena terdapat hubungan emosional antara pendengar dan penyiar. Hubungan interaktif antara penyiar dan pendengar yang sangat mudah dilakukan, membuat pendengar merasa dekat dengan penyiar.
Apalagi radio tidak menuntut kemampuan membaca atau melihat, melainkan sekadar kemampuan mendengar.
Hal demikian membuat radio lebih akrab dan hangat dalam membuat rasa kedekatan antara penyiar dan pendengar, menurut kandidat doktor Ilmu Komunikasi Unhas itu.
Fungsi terapi
Bagi pendengar, siaran radio yang dinikmati secara klasik yakni dari perangkat pesawat radio dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan mental. Mengapa mesti dari perangkat khusus radio? Karena mendengarkan radio sambil terhubung dengan internet malah berisiko mengganggu kesehatan mental, termasuk terkena sindrom Fomo.