Media radio konon setia membersamai derap perjuangan anak bangsa dalam menyebarkan informasi penting terkait pergerakan termasuk propaganda dalam menyulut semangat perlawanan terhadap penjajah.
Hingga kehadiran Jepang pada Maret 1942, yang membubarkan radio-radio swasta karena menyadari bahaya propaganda yang disebarkan melalui radio. Jepang pun menerapkan siaran secara terpusat lewat pendirian Pusat Jawatan Radio (Hoso Kanri Kyoku), meski pada akhirnya radio itulah yang “dibajak” untuk mengabarkan proklamasi kemerdekaan RI ke seantero dunia.
Sementara R.A. Darja, yang saat itu menjadi pimpinan siaran Radio Hoso Kyoku, mengucapkan kalimat ikonik, “Di sini Bandung, siaran Radio Republik Indonesia”. Dari situlah cikal bakal lahirnya RRI menggantikan Radio Hoso Kyoku, yang pada 11 September dirayakan sebagai Hari Radio Nasional.
Radio sebagai media lintas zaman pernah menjadi favorit masyarakat kebanyakan dan tetap diminati hingga kini sebagai media hiburan yang mudah dinikmati karena kepraktisan untuk mengaksesnya. Selain hiburan musik, program sandiwara radio di kisaran dekade ‘60–‘80an berjaya mengisi ruang udara Indonesia.
Baca juga: Penyiar radio Hong Kong ditangkap
Baca juga: RRI gunakan beragam platform jangkau pendengar radio lebih luas
Anda yang termasuk Generasi X kemungkinan besar memiliki nostalgia tatkala bersama anggota keluarga atau teman-teman sebaya mengerumuni pesawat radio untuk menyimak cerita sandiwara seraya angan mengawang-awang membayangkan para pelakon beraksi.
Padahal anda hanya dikelabui oleh permainan efek suara, tetapi derap langkah kuda, bunyi persilangan bilah pedang, derit pintu, atau suara desah angin begitu terasa nyata. Para pendengar pun dibuai dalam gelombang imajinasi selama mengikuti jalan cerita seperti “Saur Sepuh”, “Tutur Tinular”, atau “Mahkota Mayangkara” dan lainnya.
Keesokan harinya, Anda bakal berkumpul lagi seperti biasa karena penyiar menjanjikan episode selanjutnya akan diputar pada hari berikutnya dan jam yang sama. Menikmati sandiwara radio pada zaman itu sungguh membutuhkan kesabaran karena episode demi episode harus ditunggu dan tidak dapat diputar ulang layaknya layanan serial audio on demand yang dapat diputar kapan saja kita mau. Namun justru di situlah letak sensasinya.
Maka nikmatilah siaran radio secara tradisional demi memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan mental.