Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan publik The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, mengatakan wawancara eksklusif Presiden terpilih Prabowo Subianto yang digelar di kediamannya secara terbatas di Hambalang, Bogor, pada akhir pekan lalu, sebaiknya dilakukan secara lebih inklusif yang bukan terbatas.
Adapun wawancara eksklusif Presiden Prabowo itu diikuti sejumlah pemimpin redaksi media nasional, seperti tvOne, IDN Times, Narasi, Detikcom, SCTV–Indosiar, dan Harian Kompas.
“Wawancara seperti ini memang memberi ruang bagi Presiden untuk menjelaskan posisinya, tetapi sayangnya hanya dilakukan di lingkaran terbatas. Belum ada partisipasi publik secara luas yang dilibatkan dalam proses komunikasi ini,” kata Felia dalam keterangannya yang diterima di Bengkulu, Selasa.
Ia mengatakan wawancara tersebut menjadi momen penting untuk menyampaikan pandangan dan kebijakan ke publik. Ia menilai format wawancara tersebut belum cukup inklusif karena hanya melibatkan elite media.
Menurut Felia, keterbukaan dalam komunikasi pemerintah menjadi penting, terutama dalam situasi di mana kebijakan-kebijakan yang diambil tengah menuai kritik dan pertanyaan publik.
Ia mencontohkan pernyataan Prabowo soal Undang-Undang TNI yang dinilai belum mencerminkan pemahaman mendalam terhadap substansi persoalan.
“Wawancara ini seharusnya menjadi jembatan untuk mendengarkan, bukan sekadar menyampaikan. Formatnya perlu lebih terbuka dan melibatkan ragam perspektif, termasuk dari masyarakat sipil dan kelompok yang selama ini kritis terhadap kebijakan pemerintah,” katanya.
Felia mengatakan komunikasi publik idealnya dibangun di atas prinsip inklusivitas, partisipasi, dan transparansi. Ia berharap ke depan, Presiden membuka lebih banyak ruang dialog dengan masyarakat, bukan hanya dengan media arus utama.
“Kepercayaan publik tidak bisa dibangun lewat klarifikasi satu arah saja. Butuh ruang diskusi yang hidup, terbuka, dan mendengar,” katanya.