Palu (ANTARA) - Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Tengah, selama dua tahun terakhir, bencana alam berupa banjir dan tanah longsor paling menonjol terjadi di sejumlah daerah di provinsi di jantung Pulau Sulawesi itu.
Pada April dan Mei 2019 banjir bandang dan tanah longsor menerjang beberapa wilayah di Sulteng, seperti Kabupaten Tolitoli, Parigi Moutong, Donggala, Morowali Utara, Banggai, Poso, dan Sigi.
Tidak sedikit kerugian material dialami masyarakat dan pemerintah akibat bencana alam tersebut. Bahkan, bencana menelan beberapa korban jiwa, antara lain terserat banjir dan tertimbun material lumpur dan tanah longsor.
Memasuki 2020, banjir dan tanah longsor kembali terjadi di sejumlah daerah di Sulteng, seperti Kabupaten Morowali Utara, Morowali, Poso, Parigi Moutong, dan Sigi.
Selain memorak-porandakan rumah-rumah warga, bencana juga merusak sejumlah jalan dan jembatan, serta lahan pertanian dan perkebunan masyarakat.
Seperti banjir di Poso beberapa waktu lalu. Selain menggenangi ribuan rumah warga di beberapa kecamatan, juga memutus jalur Trans Sulawesi di Kecamatan Poso Pesisir dan jalur Poso-Napu menuju Palu, Ibu Kota Provinsi Sulteng.
Bencana itu juga menelan korban jiwa.
Banjir bandang di Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso, selain mengakibatkan beberapa rumah warga hanyut dan rusak, juga satu warga tewas terseret banjir, sedangkan peristiwa serupa yang melanda Kecamatan Lore Utara mengakibatkan beberapa rumah warga, jalan, dan jembatan rusak, namun tidak ada korban jiwa.
Sepekan terakhir, banjir dan tanah longsor terjadi di Kabupaten Sigi, Morowali Utara, dan Parigi Moutong.
Bencana melanda Desa Omu, Saluki, dan Tuva di Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi pada Rabu (17/6) sempat mengakibatkan jalur darat menghubungkan Palu dan empat kecamatan di Dataran Kulawi putus total selama dua hari.
Di sejumlah lokasi, badan jalan di jalur tersebut diterjang banjir dan longsor. Jalur kembali normal setelah Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan Binamarga setempat melakukan perbaikan.
Pada Kamis (18/6), banjir bandang dan tanah longsor menerjang sejumlah wilayah di Kabupaten Morowali Utara. Tidak ada korban jiwa, kecuali kerugian material mencapai miliran rupiah .
Banjir di Kabupaten Morowali Utara mengakibatkan banyak rumah warga di sejumlah desa di daerah penghasil tambang dan sawit serta karet tersebut, terendam dan rusak. Bahkan, satu jembatan menghubungkan beberapa desa di kabupaten itu putus dan hingga saat ini belum diperbaiki.
Pada hari yang sama, banjir melanda Kecamatan Toribulu, Kabupaten Parigi Moutong. Banyak warga terpaksa diungsikan ke tempat aman karena rumah-rumah mereka terendam banjir. Tidak ada korban jiwa.
Kepala BPBD Provinsi Sulteng Bartholomeus Tandigala mengatakan bencana alam di sejumlah daerah setempat dalam beberapa pekan terakhir karena curah hujan yang tinggi.
Dalam beberapa pekan ke depan, berdasarkan informasi BMKG, sejumlah wilayah di Sulteng, termasuk Kota Palu, masih berpotensi diguyur hujan sedang hingga lebat.
Selain karena fenomena alam, banjir dan longsor di beberapa daerah di Sulteng karena fungsi hutan sudah berkurang. Tidak bisa dimungkiri karena adanya penebangan pohon secara tak terkendali oleh para oknum masyarakat yang mungkin karena didesak faktor ekonomi, memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karena tuntutan ekonomi, mereka masuk hutan dan kemudian mengambil hasil hutan, berupa kayu dan nonkayu, untuk dijual, sedangkan hasil penjualan untuk membeli berbagai kebutuhan.
Sebenarnya, BPBD provinsi maupun kabupaten dan kota di Sulteng terus berupaya memberikan sosialisasi melalui setiap pertemuan dengan masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan dan alam.
Warga diminta tidak lagi menebang pohon secara sembarang atau membuka lahan untuk kebun baru, terutama di wilayah-wilayah daerah aliran sungai (DAS) karena rawan memicu banjir dan tanah longsor, terutama saat curah hujan tinggi.
Khusus di wilayah Sigi memang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, sebab kebanyakan desa berdekatan dengan kawasan hutan dan DAS sehingga rawan banjir.
Penyebab
Seorang anggota DPR RI asal Provinsi Sulteng, Matindas J. Rumambi, mempertanyakan penyebab banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah di Sulteng dalam beberapa tahun terakhir ini.
Bencana alam bukan semata-mata karena faktor cuaca ekstrem, tetapi juga dipicu keberadaan hutan yang sudah rusak.
Saat terjadi banjir, terlihat banyak potongan kayu yang diduga hasil tebangan oknum warga secara tidak bertanggung jawab. Potongan-potongan kayu itu berserakan di jalan dan permukiman warga yang diterjang bencana tersebut.
"Lantas dari mana asalnya kayu itu? Ya, tentu dari dalam kawasan hutan sekitarnya," kata dia.
Makanya, banjir bandang hampir tidak pernah berhenti melanda sejumlah desa di Kabupaten Sigi, salah satu daerah di Sulteng yang paling tinggi tingkat bencana alam itu.
Desa-desa itu menjadi langganan banjir bandang setiap kali hujan lebat.
"Saya dapat informasi bahwa memang hutan di Sigi sudah gundul karena penebangan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum masyarakat akibat desakan ekonomi," kata Matindas Rumambi yang juga politkus PDIP Sulteng itu.
Banjir bukan hanya dipicu fenomena alam, tetapi juga bisa jadi karena fungsi hutan yang semakin berkurang akibat perambahan.
Buktinya, kata Sekretaris DPD PDIP Provinsi Sulteng itu, dalam beberapa kali banjir di Kulawi, Tuva, dan Omu, banyak potongan kayu dibawa banjir hingga berserakan di jalan dan permukiman warga setelah bencana tersebut.
Hal serupa bukan hanya di Sigi, tetapi juga wilayah lainya, termasuk banjir bandang yang melanda sejumlah desa di Kecamatan Lore Utara, beberapa waktu lalu.
Satu-satunya solusi mencegah banjir dan longsor, pemerintah harus lebih tegas dalam penegakan hukum terhadap siapa saja yang terbukti melakukan perambahan atau pencurian hasil hutan, terutama kayu.
Langkah berikutnya, mengajak masyarakat menanam pohon di wilayah-wilayah yang sudah gundul, terutama di sepanjang DAS.
Masyarakat tidak boleh lagi membuka lahan-lahan untuk berkebun di sepanjang DAS, sebaliknya melakukan penanaman pohon sebagai solusi mencegah banjir yang merugikan banyak pihak, termasuk masyarakat sendiri.
Program menanam sejuta pohon yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus didukung semua pihak.
Kalau setiap orang bisa menanam tiga sampai lima pohon, maka mempercepat penghijauan kembali hutan yang sudah kritis.
"Ya kalau perlu, Dana Desa sebagian digunakan untuk pemberdayaan masyarakat," katanya.
Pemberdayaan masyarakat, terutama mendorong mereka alih pekerjaan dari kebiasaan menebang kayu di hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, menjadi petani sawah atau mempunyai usaha ekonomi lainnya yang tidak merusak lingkungan.
Ia menyebut pemerintah desa bisa menggunakan Dana Desa untuk membuka lahan pertanian baru dan mempekerjakan masyarakat yang selama ini masuk-keluar hutan untuk mencari kayu atau hasil hutan nonkayu yang selanjutnya dijual guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Solusi paling tepat untuk mencegah banjir bandang dan tanah longsor adalah menyetop penebangan kayu di hutan untuk kebutuhan apapun.
Berikutnya, DAS harus dihijaukan kembali dengan menanam pohon serta menghentikan pembukaan lahan kebun di sepanjang DAS.
Niscaya, hal tersebut dapat mengurangi potensi banjir bandang dan tanah longsor yang merugikan itu.