Jakarta (Antara) - UNESCO, Organisasi PBB untuk urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya, telah mengakui 850 situs di dunia menjadi warisan budaya (The World Heritage), termasuk 14 warisan diantaranya milik Indonesia yang dikelompokkan dalam tiga kategori berbeda, yaitu warisan alam, cagar alam atau situs, dan karya tak benda.
Penghargaan teranyar diberikan UNESCO pada Desember 2012 berupa penetapan Noken, tas rajut kerajinan tradisional khas masyarakat Papua, sebagai warisan takbenda. Jumlah 14 warisan tersebut sesungguhnya masih relatif kecil bila dibandingkan dengan kekayaaan yang dimiliki Indonesia, baik berupa warisan alam, cagar alam maupun karya tak benda lainnya.
Warisan-warisan berupa cagar budaya yang diakui UNESCO, yakni Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Manusia Purba Sangiran (1996), Subak sebagi Lanskap Budaya Bali (2012).
Selanjutnya, warisan Budaya Takbenda, yakni wayang (2003), keris (2005), batik (2009), angklung (2010), Tari Saman (2011) dan Noken (2012). Sedangkan warisan alam dunia, yakni Taman Nasional Ujung Kulon di Banten (1991), Taman Nasional Komodo di NTT (1991), Taman Nasional Lorentz di Papua (1999), Hutan hujan Tropis Sumatera (2004)
Untuk mendapat pengakuan dunia atas warisan budaya nasional, Indonesia harus mengikuti tahapan dan format yang ditentukan UNESCO. Tahap pertama, cabang budaya tersebut harus terdaftar sebagai warisan budaya nasional. Setelah itu, baru bisa masuk ke tahap berikutnya untuk mendapat pengakuan dunia. Setelah pencatatan sebagai warisan budaya nasional, kemudian akan usulkan kepada warisan budaya dunia.
Perlu diusulkan
Wamendikbud bidang kebudayaan Wiendu Nuryanti mengakui masih banyak kekayaan budaya nasional yang perlu diusulkan untuk mendapat pengakuan dunia.
"Banyak yang perlu kita persiapkan untuk pengusulan-pengusulan. Kita perlu secara aktif, tidak boleh ada tahun tanpa pengusulan warisan budaya".
Untuk itu, pemerintah meluncurkan catatan berisi Warisan Budaya Nasional (Warbudnas) untuk melindungi budaya nasional Indonesia. Menurut Wiendu Nuryanti, pencatatan warisan budaya nasional itu selain untuk melindungi budaya nasional Indonesia sekaligus untuk menetapkan anggaran pelestarian budaya.
"Semua warisan budaya nasional dicatat dan diregister agar lebih tertib sekaligus untuk menghindari kasus klaim-klaim budaya nasional oleh negara lain. Hingga tahun 2011 setidaknya sudah ada 2.018 budaya di 33 provinsi yang teregister.
Ia meyakini melalui budaya, bangsa Indonesia akan maju sekaligus mencitrakan dirinya sebagai negara adidaya sebab untuk mengembangkan budaya nasional ada beberapa hal yang harus diperkuat, yaitu terkait pembentukan karakter bangsa, diplomasi budaya, warisan budaya, SDM kebudayaan, dan sarana prasarana.
UNESCO telah menerbitkan empat konvensi, yaitu konvensi tahun 1972 mengenai perlindungan warisan dunia, konvensi tahun 2001 mengenai perlindungan benda warisan budaya bawah air, konvensi tahun 2003 mengenai perlindungan warisan budaya takbenda, dan terakhir konvensi tahun 2005 mengenai proteksi dan promosi keanekaragaman ekspresi budaya. Dari keempat konvensi tersebut, Indonesia telah meratifikasi konvensi tahun 1972 dan konvensi 2003 dan menyusul konvensi tahun 2005.
Terkait Konvensi UNESCO mengenai isu-isu kebudayaan, Asisten Deputi Urusan Kebudayaan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Suyud Winarno mengatakan dengan meratifikasi salah satu konvensi UNESCO itu ada banyak keuntungan diperoleh Indonesia.
"Untuk apa kita harus bersusah payah mengusulan warisan kekayaan Indonesia ke UNESCO, padahal untuk dapat diakui sebagai warisan dunia, sejumlah proses panjang harus dilewati dengan beberapa kali perbaikan bahkan harus menunggu hingga belasan tahun untuk dapat diakui UNESCO", ujarnya.
Ia mencontohkan penghargaan untuk warisan alam berupa lanskap Subak-pola pengairan berundak-undak- di Bali membutuhkan waktu 12 tahun hingga akhirnya dapat disetujui dalam sidang UNESCO pada Juli 2012.
Meski harus bersusah payah, menurut Suyud banyak keuntungan baik dari sisi prestise maupun bantuan dunia.
"Pengakuan UNESCO yang berarti pengakuan dunia akan meningkatkan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Ada apresiasi sekaligus kebanggaan bangsa ketika warisan budaya kita dikenal dunia".
Menurut Suyud Winarno, ketika Indonesia sudah meratifikasi salah satu konvensi UNESCO, maka berhak mengajukan usulan kekayaan warisan yang dimiliki yang meliputi tiga kategori, warisan situs, warisan alam dan warisan takbenda dan bila salah satu dari usulan tersebut sudah diakui UNESCO maka selanjutnya Indonesia berhak untuk memeroleh biaya pemugaran atau biaya lain yang terkait dengan pelestarian warisan dunia tersebut.
Selain memperoleh pembiayaan dari UNESCO, secara otomatis perhatian dunia akan tertuju ke Indonesia bila diketahui terjadi masalah terhadap warisan tersebut. Sebagai contoh, saat terjadi peristiwa gempa di Daerah istimewa Yogyakarta pada 2 Mei 2006 salah satunya hingga menimbulkan kerusakan pada Candi Prambanan, salah satu situs diakui dunia, maka banyak negara menawarkan bantuan baik dalam bentuk biaya perbaikan maupun asistensi tenaga ahli.
Tidak Cukup Mengusulkan
Di antara hak yang diperoleh atas kekayaan alam, situs dan warisan takbenda yang diakui dunia itu, maka terdapat kewajiban yang harus dipenuhi yakni sanggup untuk menjaga, melestarikan dan mewariskan secara estafet kepada generasi berikutnya. Disamping secara berkala, Indonesia harus memberikan laporan ke UNESCO mengenai kondisi keterawatan warisan-warisan tersebut.
"Semangat mengusulkan saja tidak cukup. Sebab setelah diakui sebagai warisan dunia, maka kita harus siap melestarikan, menjaga dan merawat supaya tidak terkena sanksi dari UNESCO," kata Suyud Winarno seraya menambahkan banyak warisan dunia dari sejumlah negara yang di kemudian hari terkena sanksi karena lalai untuk melestarikan, seperti dua bekas situs, Lembah Dresden Elbe telah dihapuskan setelah penempatan di Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya sedangkan Cagar Alam Oryx Arabia secara langsung telah dihapuskan.
Sanksi UNESCO tersebut juga dihadapi Indonesia, yakni salah satu warisan alam dunia di Sumatera, yakni Hutan Hujan Tropis Sumatera. Warisan alam tersebut telah berulang kali direkomendasikan masuk dalam daftar "in danger", namun status itu baru ditetapkan pada pertengahan 2011.
"Penyebabnya adalah pembalakan dan perambahan liar, perburuan satwa, dan pembangunan jalan. rekomendasi status in danger sudah sejak tahun 2004, dan hampir setiap tahun sesudahnya UNESCO merekomendasikan hal serupa pada Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. "Pemerintah Indonesia perlu ada berkoordinasi secara efektif untuk menyelamatkan tiga taman nasional tersebut sebagai satu unit warisan dunia".
Sementara itu terkait warisan takbenda, berupa wayang (2003), keris (2005), batik (2009), angklung (2010), Tari Saman (2011) dan Noken (2012), Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Kacung Maridjan mengatakan salah satu poin penting yang perlu diperhatikan adalah tanggung jawab dalam manajemen pelestarian warisan budaya, apalagi jika sudah ditetapkan menjadi warisan dunia.
Pengelolaan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia mengikuti Konvensi UNESCO tahun 2003 tentang Pelestarian Warisan Budaya Takbenda (the 2003 UNESCO Convention on the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage). "Pengelolaan warisan dunia menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan seluruh elemen masyarakat, dalam hal perlindungan, Pengembangan, Pemasaran, Investasi dan Bisnis, serta Pemberdayaan Masyarakat".
Ia mencontohkan, warisan takbenda, berupa tas rajuta Noken dari Papua.
"Dalam perkembangannya, generasi muda Papua masa kini kurang berminat untuk membuat Noken. Mungkin hal tersebut karena pembuatan Noken cukup rumit dan tidak bisa menggunakan mesin.
"Bila hal ini terus berlangsung, Noken dikhawatirkan terancam punah," kata Kacung.
Karena itu pemerintah berkewajiban melakukan perlindungan terhadap hasil karya budaya Papua. Artinya, upaya pelstraian Noken tidak harus dilakukan oleh orang Papua saja, tetapi juga orang-orang Indonesia di wilayah lain diberikan kesempatan memepelajari cara membuat tas rajut Noken, agar tidak punah dan mendapat penilaian positif dari Komite Unesco yang telah memberikan pengakuan terhadap tas Noken.
Ia lebih lanjut mengisahkan ketika Batik diakui sebagai salah satu warisan takbenda pada tahun 2009 lalu, maka serta merta mampu mengangkat pamor batik tidak dari sisi sosial semata tetapi sisi ekonomi. Sejak batik ditetapkan menjadi warisan budaya dunia telah memiliki nilai tambah bagi para perajin batik hingga 300 persen atau lebih dari Rp1 triliun.
"Untuk melestarikan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Takbenda, perlu dilakukan beberapa langkah koordinasi usaha dan program yang dapat dilakukan pemangku kepentingan, seperti pelestarian tentang prosedur, metode, dan teknik membuat batik Indonesia".
Pelestarian terhadap alat dan sarana yang digunakan untuk membatik, seperti canting. Canting merupakan ikon batik Indonesia. Kemudian langkah identifikasi terhadap motif atau corak batik dan penggunaan motif-motif tertentu. Sebab, banyak daerah yang kini sudah mengembangkan batik meski ikon batik diawali dari Pula Jawa, seperti wilayah Pekalongan Jawa tengah, Yogyakarta dan Solo Jawa Tengah.
Kacung mengingatkan tidak masalah warisan budaya Indonesia berkembang hingga mancanegara. Tapi identitas dan kepemilikan tidak boleh beralih ke negara lain, caranya dengan melestarikan dan melakukan konvergensi kebudayaan sehingga warisan kebudayaan bisa berjalan baik.
Lestarikan warisan budaya agar tak disanksi UNESCO
Senin, 4 November 2013 19:56 WIB 17804