Selusinan pria berseragam merah berhadapan langsung dengan kobaran api yang menyala di tengah hutan di Kabupaten Bengkalis, Riau, pada awal Maret 2014. Mereka adalah pasukan pemadam kebakaran Manggala Agni, yang tampak kontras saat berdiri di lahan gambut penuh abu dan arang sisa kebakaran.
Manggala Agni tak ubahnya pemadam kebakaran yang biasa bertugas di perkotaan. Keduanya sama-sama punya jargon "Pantang Pulang Sebelum Padam" dan juga mahir menjinakan "Si jago merah". Nama Manggala Agni sendiri merupakan bahasa sansekerta yang berarti penakluk api.
Namun, tidak banyak orang mengenal pasukan pemadam kebakaran bentukan Kementerian Kehutanan ini, apalagi mendengar nasib mereka.
"Menjadi Manggala Agni berarti harus siap bertahan hidup dalam kondisi apa pun. Pernah saat kami kehabisan air di tengah lahan terbakar, terpaksa gunakan air gambut di kanal yang nyaris kering untuk minum," kata Sarijon kepada Antara.
Lelaki berusia 24 tahun ini bergabung dalam Manggala Agni regu Kabupaten Siak Provinsi Riau sejak umurnya masih belasan tahun. Ia bersama 29 personel lainnya sudah enam hari terakhir diperbantukan untuk membantu pemadaman kebakaran di Bengkalis.
Ia mengatakan kondisi kebakaran di daerah itu sangat mengerikan saat mereka pertama kali datang. Sekitar 2.000 hektar, atau setara 20 juta meter persegi lahan berupa perkebunan dan hutan, ludes terbakar hanya dalam tempo 30 hari. Bahkan, ia mengatakan hingga kini titik api kerap muncul kembali di lokasi yang sebelumnya sudah dipadamkan.
Lahan gambut di daerah itu bisa memiliki ketebalan hingga lima meter dan cuaca kemarau membuatnya sangat kering. Kalau sudah terbakar, gumpalan asap pekat langsung menyelimuti udara di sekitarnya, sementara api bisa cepat merambat di dalam permukaan dan tak terlihat saat siang hari.
"Kami bekerja siang dan malam karena kebakaran sangat parah. Seringkali kami memadamkan api sampai jam 10 malam, dan pernah juga sampai jam dua pagi," katanya.
Ia mengatakan pengalaman paling unik namun menakutkan selama jadi Manggala Agni adalah ketika bertemu langsung dengan harimau Sumatera, atau yang oleh warga setempat disebut "Datuk". Ia mengatakan pertemuan itu terjadi pada pertengahan Februari lalu saat regunya memadamkan kebakaran besar di Desa Dosan Kecamatan Pusako, Kabupaten Siak.
Kebetulan pada malam itu Sarijon bertugas paling depan memimpin regunya. "Tiba-tiba dari dalam hutan yang terbakar terlihat dua ekor harimau Sumatera bergerak perlahan ke arah kami. Dari jarak sekira 30 meter terlihat jelas warna hitam dan kuning bulu "Sang Datuk" tampak berkilat keemasan karena tersapu lampu senter".
"Saya rasa harimau itu tidak mau menyerang tapi terpaksa keluar hutan karena ada kebakaran. Tapi tetap saja kami langsung gulung selang dan lari ketakutan," katanya.
Ia mengatakan malam itu seluruh anggota regunya tidak ada yang berani tidur, bahkan sampai dua hari mereka takut masuk ke lokasi pertemuan dengan harimau.
Manggala Agni lainnya, Mulyadi (30), mengatakan kebakaran tahun ini yang membawa Riau berstatus Tanggap Darurat Asap membuat seluruh anggota harus rela meninggalkan keluarga dalam waktu lama. Ia mengatakan, seluruh regu dari Siak sudah dua minggu terakhir tidak pulang ke rumah.
"Sudah dua minggu ini saya tidak pulang karena dari membantu pemadaman di Siak langsung dikirim ke Bengkalis. Perasaan kangen keluarga pasti ada, terutama dengan anak saya," kata Mulyadi sambil menunjukan foto anaknya yang masih berusia empat tahun.
Kalau kangen keluarga sudah menggebu, lanjutnya, seringkali perasaan itu berpengaruh saat berkerja di lapangan. Namun, ia mengatakan seluruh anggota Manggala Agni pasti langsung paham dan saling menghibur satu sama lain.
"Karena sering bersama, kami merasa sudah satu keluarga," katanya.
Hanya saja, di balik itu semua, ada satu harapan yang terpendam di dalam hati setiap anggota Manggala Agni. Ujang (36), ketua regu Manggala Agni Siak, mengatakan semua anggota penakluk api hingga kini masih berstatus pegawai honor yang kontraknya terus diperpanjang setiap tahun.
"Masalah pengangkatan itu yang sampai sekarang tidak jelas," ujarnya.
Padahal, kalau perihal pengabdian, Ujang bisa dibilang paling senior karena merupakan angkatan pertama saat Manggala Agni dibentuk di Riau tahun 2002. Ia masih ingat betul honornya saat itu hanya Rp180 ribu per bulan, yang pembayarannya sering molor dibayar tiga bulan sekali.
Ia mengakui, honor kini semakin manusiawi karena tiap bulan anggota Manggala Agni bisa menerima Rp1,6 juta. Namun, masalah masa depan kerap menghantui mereka.
Setiap personel Manggala Agni merupakan garda terdepan dalam kekuatan pemadaman kebakaran hutan, namun termasuk juga yang paling dahulu terpapar panas api dan asap. Di tengah beratnya resiko kerja mereka, sayangnya belum didukung dengan perlindungan jaminan kesehatan apalagi asuransi.
Ujang mengatakan tidak pernah ada program pemeriksaan kesehatan menyeluruh terhadap anggota Manggala Agni. Para anggota juga mengatakan belum pernah mendengar kalau biaya pengobatan bisa diklaim ke instansi yang menaungi mereka.
"Kami tidak paham soal itu karena sejauh ini sih saya merasa sehat, tapi tidak tahu ya yang didalam badan. Tapi, bagaimana pun juga Manggala Agni ini kan kerja sosial," kata Ujang.
Bagi Ujang, di tengah kondisi serba kekurangan itu, ia masih menilai profesi Manggala Agni merupakan kerja sosial yang mulia. Kini saatnya bagi Kementerian Kehutanan untuk lebih memanusiakan mereka. (Antara)
Kisah "penakluk api" di tengah bencana asap
Rabu, 5 Maret 2014 12:45 WIB 3078