Jakarta (ANTARA) - Gempa di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, pada 21 November 2022 seharusnya menjadi pelajaran betapa pentingnya penataan ruang yang baik mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Jika dilihat, rata-rata dampak kerusakan parah yang terjadi akibat gempa di Cianjur terjadi akibat longsor yang menimbun rumah-rumah warga. Salah satu daerah terparah akibat gempa Cianjur yakni di Cugenang, yang memiliki kontur wilayah perbukitan dan berbatasan dengan daerah Puncak Bogor.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhirnya memutuskan untuk merelokasi warga yang tinggal di daerah Cugenang karena daerah ini dinilai rawan untuk kembali dihuni. Presiden Jokowi menegaskan Pemerintah telah menyiapkan dua lokasi relokasi yang diprioritaskan bagi warga terdampak gempa yang rumahnya berada di pusat gempa, terutama di Kecamatan Cugenang.
Tak hanya di Cianjur, kita juga masih mengingat banyaknya warga yang harus direlokasi akibat tempat tinggalnya di Petobo Palu, Sulawesi Tengah, terkena fenomena likuifaksi (tanah mencair alias jadi lumpur). Ratusan rumah di Kelurahan Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah, hilang tertimbun tanah saat gempa Donggala berkekuatan 7,4 skala Richter pada tahun 2018.
Dikutip dari berbagai pemberitaan di media, sejumlah anggota DPR RI, antara lain, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily dan Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menyampaikan sudah semestinya langkah evaluasi tata ruang dan implementasinya segera dilakukan agar tidak terus-menerus menjadi daerah risiko tinggi ketika terjadi gempa kembali. Penataan ruang sejatinya bertujuan untuk melindungi masyarakat dari berbagai ancaman sehingga dapat hidup aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Dengan berbagai ancaman yang berpotensi mengganggu keselamatan warga masyarakat, seperti bencana, sehingga penetapan kawasan rawan bencana tersebut perlu dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi, kabupaten/kota, khususnya di rencana pola ruang.
Terkait dengan itu, penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan keharmonisan lingkungan, keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang memperhatikan sumber daya manusia, perlindungan fungsi ruang, serta pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Selain itu, penataan ruang juga harus berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan hidup dengan pengaturan zonasi yang tepat.
Saat ini, sudah banyak terdapat peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang mengatur penataan ruang. Namun, sering kali masih ditemukan beberapa permasalahan yang meliputi penegakan hukum, kelembagaan, konflik kepentingan, dan kondisi sosial budaya masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa fenomena seperti terjadinya bencana alam berupa banjir, tanah longsor akibat deforestasi yang tidak terkendali, hingga degradasi kualitas lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) di hampir seluruh kota-kota besar.
Sosialisasi
Permasalahan-permasalahan penataan ruang lainnya yakni penyusunan rencana tata ruang yang memakan waktu lama sehingga pada saat ditetapkan sudah berbeda dengan kondisi eksisting. Permasalahan lain adalah tidak tersosialisasikannya penataan ruang dengan baik kepada pemangku kepentingan dan masyarakat.
Dalam RTRW, pemda harus jelas mencantumkan daerah yang tidak boleh dibangun serta daerah evakuasi apabila terjadi bencana. Jika pembangunan dan pengembangan wilayah di Indonesia berbasis penataan ruang, akan tercipta ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Sementara itu, tidak sedikit masyarakat yang masih belum dapat menjalankan perannya dalam penyelenggaraan penataan ruang. Padahal, ihwal tersebut diamanatkan dalam UU Penataan Ruang. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya penataan ruang masih rendah.
Melihat hal tersebut, inilah pentingnya komunikasi sosialisasi peningkatan kesadaran warga akan penataan ruang untuk keselamatan. Proses sosialisasi RTRW menjadi makin terjal jika Pemerintah masih menggunakan cara lama, misalnya, hanya melalui seminar yang kaku atau bahkan hanya dengan mendorong masyarakat Indonesia berinisiatif untuk mencari tahu terkait hal tersebut.
Sosialisasi dengan cara lama seperti itu tidak akan efektif, mengingat minat dan budaya baca masyarakat Indonesia yang sangat rendah. Rendahnya minat baca tentu menjadi tantangan berat dalam menyosialisasikan peraturan-peraturan pemerintah termasuk RTRW.
Oleh karena itu, diperlukan cara-cara kreatif dan adaptif dengan kebiasaan masyarakat tentu untuk mengetahui RTRW yang ada di tiap daerah. Cara kreatif dan adaptif bisa disalurkan dengan mudah melalui platform media sosial yang saat ini sangat dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia. Selain itu dengan kian majunya teknologi, Pemerintah juga bisa menggencarkan sosialisasi dengan mengoptimalkan aplikasi terkait tata ruang, salah satunya aplikasi PROTARU.
Data menunjukkan bahwa lebih dari setengah populasi di Indonesia atau sekitar 56,2 persen menggunakan ponsel pintar. Adapun berdasarkan laporan terbaru We Are Social, terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia pada 2020 dan sekitar 160 juta pengguna aktif media sosial. Dari riset yang sama menemukan fakta bahwa pengguna internet Indonesia memiliki waktu rata-rata 7 jam 59 menit per hari berada di media sosial.
Makin sering sosialisasi tentang RTRW muncul di media sosial, kian banyak orang yang mengenal dan mencerna isi aturan ini. Namun, hal ini bisa terjadi jika konten yang ditampilkan menarik perhatian masyarakat media sosial. Banyak cara yang bisa dipakai untuk meringkas ini, misalnya, dibuat dalam bentuk permainan, videografi, fotografi, maupun infografik serta bentuk kreatif lain.
Terakhir, tak kalah pentingnya, Pemerintah harus konsisten dengan pelaksanaan RTRW yang sudah ditetapkan. Jangan sampai penetapan RTRW dapat berubah terus hanya untuk kepentingan beberapa kelompok, namun justru mengancam keselamatan banyak warga karena pembangunan tidak sesuai peruntukkan penataan ruang. Pemerintah juga harus tegas memberikan sanksi kepada para pelanggar yang melakukan pembangunan tidak sesuai dengan RTRW.
Oleh Ahmad Jayadi, Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mematuhi RTRW demi tercipta ruang yang aman, nyaman, dan berkelanjutan