Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih, Ali Akbar di Bengkulu, Jum'at mengatakan desakan itu didasari situasi yang dialami warga terdampak pertambangan batu bara dan warga terdampak polusi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di berbagai provinsi di Sumatera mulai dari Aceh hingga Lampung.
"Sudah cukup penderitaaan warga akibat penggunaan energi fosil batu bara mulai dari hulu di pertambangan yang menggusur lahan pertanian produktif, menghilangkan hutan dan sungai hingga pembakaran batu bara di PLTU yang memproduksi abu beracun," kata Ali saat Deklarasi Sumatera Anti-Oligarki yang digelar Sumatera Terang untuk Energi Bersih di Bengkulu, Jumat.
Ia menambahkan, pencemaran udara akibat abu terbang PLTU batu bara tidak hanya mengancam kesehatan generasi muda tapi juga mengancam kelestarian wilayah pesisir akibat pembuangan air bahang dari PLTU batu bara.
Lanjut Ali, saat ini pasokan energi listrik di Sumatera sudah berlebih hingga 55 persen dengan operasional 25 PLTU batu bara. Namun, mirisnya pemerintah masih terus berencana menambah delapan PLTU batu bara baru dengan daya 4,45 Giga Watt.
Sementara Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara, Mimi Surbakti, menyebutkan bahwa warga Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara setiap hari menanggung dampak pencemaran udara dari PLTU Pangkalan Susu unit 1 dan 2.
"Data yang diperoleh dari Puskesmas Beras Basah Pangkalan Susu ada 1.157 orang anak-anak mengalami gatal yang tidak sembuh-sembuh yang diperkirakan akibat terpapar abu PLTU," katanya.
Mimi menilai kebijakan pemerintah yang terus mengandalkan batu bara sebagai sumber utama energi listrik negara akan membuat penderitaan warga terus berlanjut dan pihaknya menduga kekuatan oligarki berada di balik kondisi tersebut.
Sementara Direktur LBH Padang, Indira Suryani mengatakan penderitaan warga Desa Sijantang Koto di Kota Sawah Lunto Sumatera Barat semakin memuncak sejak pemerintah mengeluarkan abu bawah dan abu atas PLTU batu bara atau Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dikeluarkan dari kategori limbah beracun dan berbahaya.
"Padahal hasil pemeriksaan pelajar SD Negeri 09 Desa Sijantang Koto menyebutkan lebih dari 70 persen anak-anak menderita ISPA karena setiap hari terpapar debu PLTU batu bara Ombilin," katanya.
Karena itu menurut Indira, pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain segera transisi ke energi terbarukan sebab pengembangan PLTU batu bara menimbulkan harga yang terlalu mahal untuk dibayar oleh anak-anak dan generasi penerus Sumatera Barat.
"Data yang diperoleh dari Puskesmas Beras Basah Pangkalan Susu ada 1.157 orang anak-anak mengalami gatal yang tidak sembuh-sembuh yang diperkirakan akibat terpapar abu PLTU," katanya.
Mimi menilai kebijakan pemerintah yang terus mengandalkan batu bara sebagai sumber utama energi listrik negara akan membuat penderitaan warga terus berlanjut dan pihaknya menduga kekuatan oligarki berada di balik kondisi tersebut.
Sementara Direktur LBH Padang, Indira Suryani mengatakan penderitaan warga Desa Sijantang Koto di Kota Sawah Lunto Sumatera Barat semakin memuncak sejak pemerintah mengeluarkan abu bawah dan abu atas PLTU batu bara atau Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dikeluarkan dari kategori limbah beracun dan berbahaya.
"Padahal hasil pemeriksaan pelajar SD Negeri 09 Desa Sijantang Koto menyebutkan lebih dari 70 persen anak-anak menderita ISPA karena setiap hari terpapar debu PLTU batu bara Ombilin," katanya.
Karena itu menurut Indira, pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain segera transisi ke energi terbarukan sebab pengembangan PLTU batu bara menimbulkan harga yang terlalu mahal untuk dibayar oleh anak-anak dan generasi penerus Sumatera Barat.