Membuka "Atap Dunia" dari sisi timur Himalaya
Jumat, 26 Mei 2023 7:53 WIB 958
Ungkapan takjub meluncur begitu saja dari bibir para delegasi menjadi sebuah permakluman atas pengalaman pertama yang sangat mungkin tidak akan terulang lagi.
Tibet yang dikenal dengan sebutan "Negeri Atap Dunia" menyimpan pesona yang sangat menakjubkan, sehingga menarik antusiasme orang-orang yang ingin merasakan pengalaman sensasional di atas dataran berketinggian ekstrem, meskipun harus menguras energi fisik dan isi kantong dalam-dalam.
Suara "cas-ces" semprotan oksigen sesekali memecahkan keriuhan di dalam mobil van, khususnya mobil nomor 6 yang ditumpangi tiga jurnalis asing, tiga jurnalis lokal, seorang pengurus lembaga non-pemerintahan asing, seorang staf Kementerian Luar Negeri China (MFA) dan dua akademisi lokal ditambah dua pemandu beretnis Tibet.
Suara semprotan itu makin lama makin nyaring, bahkan ada seorang penumpang yang tiba-tiba harus pindah ke tempat duduk di belakang sopir setelah isi kaleng semprotannya habis.
Seorang pemandu bergegas memasang selang oksigen medis dibantu sang sopir saat mobil berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan kepada para penumpang ke kamar kecil.
"Sebulan yang lalu saya sudah datang ke sini untuk acara lain. Tapi apa yang saya rasakan tetap sama," kata jurnalis perempuan dari media berjaringan internasional yang berkantor pusat di Beijing merasakan gejala HAI, sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan melalui oksigen medis di belakang jok pengemudi mobil nomor 6 itu.
"Kalau ada yang merasakan gejala serupa dengan teman kita ini, mohon jangan ragu sampaikan kepada kami," timpal seorang pamandu, seusai memasangkan selang yang tersambung tabung berwarna biru mengarah ke kedua hidung si wartawati tadi.
Konvoi kendaraan para delegasi benar-benar berhenti di sebuah puncak Lulang Linhai, taman hutan nasional yang berada di ketinggian di atas 4.000 meter dari permukaan laut, pada Rabu, 17 Mei 2023, atau hari kedua kunjungan ke Daerah Otonomi Tibet.
Kadar udara yang makin tipis disertai dengan gemuruh angin kencang, membuat para delegasi tidak boleh berlama-lama di ruang terbuka seperti itu.
Tak lebih dari setengah jam, para delegasi yang sedang menikmati alam terbuka itu langsung diperintahkan untuk kembali ke mobilnya masing-masing sesuai dengan nomor yang terpasang di bagian kaca depan.
Rombongan bergeser ke satu lokasi yang berjarak beberapa kilometer saja dari Lulang Linhai. Di situ terdapat satu gardu pandang yang tepat mengarah ke Namcha Barwa.
Dari gardu tersebut bagian puncak sisi timur Himalaya yang seluruh permukaannya berselimutkan salju itu sangat jelas karena selain jaraknya tidak terlalu jauh, cuaca pada Rabu siang itu juga sangat cerah.
Namcha Barwa atau dalam bahasa Mandarinnya dikenal dengan Nanjiabawa Feng berada di atas ketinggian 7.782 meter dari permukaan laut dan secara administratif masuk wilayah Prefektur Nyingchi.
Puncak ini jarang didatangi orang, apalagi wisatawan mancanegara, sehingga vegetasi dan keasriannya masih terpelihara dengan baik.
Inilah yang membedakan Namcha Barwa dengan Qomolongma atau puncak Everest di sisi selatan pegunungan Himalaya yang berada di atas ketinggian 8.848 meter dari permukaan laut di Prefektur Xigaze, masih di Daerah Otonomi Tibet. Qomolongma mampu mendatangkan 35.000 turis dan pendaki gunung per tahun.
Seiring dengan dibukanya pariwisata Tibet, masyarakat di sekitar Namcha Barwa menawarkan rumah tinggalnya sebagai penginapan.
Paden Chodron mengaku bisa meraih pendapatan sekitar 215.000 Yuan (Rp454,7 juta) selama tahun 2022 dengan menyewakan kamar-kamar rumahnya di Zhaxigang, desa di kaki pegunungan Himalaya timur, kepada wisatawan domestik.
Ia sangat berharap pemulihan sektor pariwisata di daerahnya terus berlanjut agar bisa menghasilkan pendapatan tambahan, selain dari pertanian dan binatang ternak.
"Menginap di sini tidak mahal, tapi panorama alam yang indah tidak akan pernah dilupakan," ucapnya didampingi istrinya, Baima Quzhen, yang sama-sama beretniskan Tibet.