Catatan dari peringatan 25 tahun reformasi
Senin, 29 Mei 2023 9:09 WIB 1016
Keberagaman etnis, suku, budaya, dan agama di Indonesia sejatinya menjadi kekayaan yang tidak ternilai bagi bangsa ini.
Namun, di era reformasi ini harus terus diwaspadai ketika ada indikasi tumbuhnya kelompok-kelompok intoleran yang berupaya menghapus keberagaman tersebut.
Hal ini terlihat dengan maraknya sejumlah kasus, bahkan kebijakan di berbagai daerah yang seakan menggerus nilai-nilai budaya yang telah tumbuh selama ratusan tahun.
Belum lagi tindakan persekusi terhadap kelompok yang memiliki perbedaan penafsiran dalam keagamaan.
Belum hilang ingatan mengenai peristiwa berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Februari 2011 yang menimpa jemaat Ahmadiyah.
Tak hanya di Cikeusik, kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah juga terjadi di sejumlah daerah, seperti Lombok, Sukabumi hingga Depok.
Belum lagi pengusiran dan penyerangan terhadap penganut Islam Syiah di Kabupaten Sampang, Madura, pada Agustus 2012.
Daftar kasus intoleransi di Indonesia bertambah panjang dengan adanya sejumlah kasus pelarangan pendirian rumah ibadah, seperti gereja, pura, dan vihara di sejumlah daerah.
Sebagai gambaran, pada 2019, LSM Setara Institute menyatakan, ada 202 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2018.
Itu baru satu tahun. Jika ditelusuri lebih lanjut selama era reformasi, maka jumlahnya bisa membengkak, bahkan bisa mencapai ribuan kasus.
Hal-hal tersebut perlu menjadi catatan bagi bangsa ini dan seluruh elemen masyarakat untuk menyelamatkan reformasi di Indonesia dari keterpurukan dan hilangnya semangat.
Karena itulah diperlukan upaya konkrit dari segenap komponen masyarakat agar bisa mewujudkan reformasi yang ideal, seperti yang dicita-citakan pada 1998 menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Dr. Taufan Hunneman adalah Eksponen 98 Km Jayabaya dan Dosen UIC