Menyoal keadilan lewat media sosial
Kamis, 1 Juni 2023 12:28 WIB 1543
Oleh karenanya, pers beda dengan media sosial (medsos). Pers memiliki peran yang mulia untuk memperjuangkan kebenaran dan mengembangkan opini masyarakat berdasarkan informasi yang akurat, seperti yang termaktub dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Dalam melaksanakan perannya, dunia pers yang sedang bertransformasi menjadi media fully digitalized mau tidak mau harus berjuang untuk bersaing dengan media sosial.
Menurut Gaudensius Suhardi, Direktur MI (2022), pers merupakan pilar keempat demokrasi di Indonesia, setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Keberadaan pers menjadi hal yang mutlak dalam berdirinya sebuah demokrasi suatu negara. Pers di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40/1999, yakni pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan bahkan kontrol sosial.
Sejalan perkembangan teknologi informasi, AW Setianto dalam (Ratih Frayunita Sari, 2019) mengatakan, kehadiran media baru, yakni internet, menjadi media yang paling fenomenal dan telah menggeser peran dari media-media yang terlebih dahulu ada.
Media baru telah mengubah cara-cara orang menyampaikan pendapatnya. Sejalan dengan yang dinyatakan Pavlik dan Dennis, persinggungan dan perubahan transaksi informasi merupakan pengenal khusus untuk membedakan antara media baru dan tipikal media massa sebelumnya.
Teknologi komunikasi ini telah melapangkan jalan bagi masyarakat yang secara leluasa mengekspresikan pendapatnya dan masyarakat-pun diberikan kemudahan untuk memilih media.
Jika diamati keberadaan media sosial seolah telah mengambil peran dan fungsi pers. Gaudensius menambahkan, produk media sosial bukanlah karya jurnalistik. Terlepas dari kanal resmi media cetak atau media elektronik yang ada di sosial media, produk media sosial bukan lah karya jurnalistik.
Dasar hukum yang mengikat jurnalistik dan media sosial juga berbeda. Karya jurnalistik tunduk pada Undang Undang Pers dan dapat digugat melalui gugatan hukum melalui dewan pers jika terdapat masalah, sedangkan konten media sosial memiliki dasar hukum Putusan MK No.39/PUU-XVIII/2020 dan juga UU ITE.
Dengan demikian, media sosial bukanlah produk jurnalistik dan tidak dapat menggantikan posisi dan peran pers. Selain perbedaan dasar hukum yang melindunginya, proses penciptaan karya jurnalistik juga berbeda dengan penciptaan karya di media sosial. Elemen pertama dari sembilan elemen jurnalisme Kovach adalah media harus berpihak pada kebenaran dan hanya kebenaran.
Artinya, pers dituntut mewartakan kebenaran karena berita yang dipublikasikan oleh pers punya relevansi tinggi dalam pengambilan keputusan. Terlebih lagi, pers juga memberi pengaruh pada kondisi ekonomi hingga politik negara.
Menjadi jelas media sosial bukan lah produk jurnalistik, karena tidak ditulis dengan pakem atau kaidah jurnalistik. Intinya informasi di media sosial tidak terverifikasi dan tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik. Implikasinya informasi yang beredar di media sosial kurang kredibel.
Kredibilitas informasi di media cetak, radio dan televisi adalah kekuatan produk pers dibandingkan informasi produk medsos.
Pers harus mampu berperan sebagai filter dan melakukan cross check dari semua informasi palsu atau hoaks yang tersebar di media sosial. Adalah kewajiban insan pers untuk mampu menyajikan informasi yang kredibel dan layak dipercaya.
Pers dituntut mampu menyampaikan informasi yang benar dan dapat dipercaya, serta mampu berperan sebagai filter dari semua informasi hoaks agar mampu eksis dan tidak ditinggalkan oleh masyarakat pembacanya.
Pers juga tidak hanya mengemban fungsi memberi informasi (to inform), mendidik (to educate), dan menghibur (to entertain) saja, tapi pers juga harus mampu menjadi sarana kontrol sosial (tool of social control).
Oleh karenanya, memperjuangkan keadilan di Indonesia melalui viral media sosial, perlu mendapatkan evaluasi karena bukan hanya akan menggradasi eksistensi produk jurnalistik yang dilandasi oleh profesionalisme dan UU Pers, juga akan menjadikan kesibukan sendiri para penegak hukum untuk selalu menanggapi berita-berita dalam medsos yang jumlahnya ratusan berita per hari dengan tingkat akurasi rendah. Sementara berita dan laporan yang dibuat anggota masyarakat justru terkesampingkan.
Hal itu terjadi karena keadilan adalah milik semua manusia tanpa ada pengecualiannya atau equality before the law. Persamaan, tanpa perbedaan hukum, bagi setiap manusia.
Namun, dalam implementasi sering kita dengar ungkapan masyarakat mengenai penegakan hukum dan keadilan, ibarat sebilah pedang, tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Atau keadilan itu milik orang kaya, dan bukan milik orang miskin. Ungkapan suum cuique tribuere (berikanlah kepada orang lain apa yang menjadi haknya) hanya berkelindan dalam dunia khayalan yang tak berujung.
Akhirnya media sosial mampu menjawab kebuntuan accsess to justice yang selama ini terjadi. Media sosial menjadi alternatif menyuarakan dan memperjuangkan keadilan yang efektif, tanpa ada sekat-sekat birokrasi, dan berbiaya murah.
Media sosial telah menjadi sarana baru untuk mencari keadilan ketika masyarakat kesulitan dalam menemukannya melalui sistem dan prosedur formal. Artinya, media sosial kini dapat dikatakan tidak sekedar sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga “guardian of justice by netizen” dalam upaya mendukung penegakan hukum dan keadilan.
* Dr. Laksanto Utomo, dosesn FH Unif UPN Jakarta, dan Lenny Nadriaya, dosen Universitas Sahid Jakarta, keduanya sebagai Pengurus Lembaga Study Bantuan Hukum Indonesia (LSHI).