Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo pada 21 Juni 2023 mengumumkan status kedaruratan kesehatan akibat COVID-19 di Indonesia telah teratasi, seiring dengan indikator kasus yang hampir mendekati nihil.
Data Satgas Penanganan COVID-19 mencatat ada dua kali gelombang puncak yang menghantam Indonesia selama kurun 3 tahun terakhir ini.
Gelombang pertama pada 15 Juli 2021 akibat varian Delta dengan rata-rata laporan positif harian 16.041 kasus, dan 16 Februari 2022 oleh varian Omicron sebanyak 18.138 kasus.
Jika dibandingkan kondisi sekarang, jumlah itu menyusut lebih dari 97 persen atau setara 533 kasus positif harian. Angka itu terpaut jauh dari ambang aman level 1 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maksimal 8.000 kasus positif harian.
Angka kematian juga ditekan hingga 94 persen dari kondisi pada dua gelombang COVID-19. Pun dengan laju kasus aktif saat ini yang menyentuh 0,14 persen dari sebelumnya mencapai 17,61 persen.
Angka itu dibuktikan dengan tingkat keterisian tempat tidur pasien COVID-19 di rumah sakit rujukan yang kini di angka 1,7 persen, atau turun dari angka sebelumnya 60 hingga 78 persen.
Vaksinasi COVID-19 mengambil peran dalam perbaikan kondisi di Indonesia. Laporan sero survei antibodi SARS CoV-2 per Januari 2023 mencapai 99 persen penduduk memiliki kadar imunitas tinggi.
Dari laporan itu, sudah pada tempatnya COVID-19 dinyatakan oleh Pemerintah RI sebagai endemi, meskipun adalah kewajiban Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menilai keadaan dunia, bukan satu negara saja.
Deklarasi endemi di Indonesia menyusul beberapa negara lainnya yang juga sudah mengakhiri status kedaruratan kesehatannya, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, dan negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Filipina.
Perwakilan WHO untuk Indonesia Dr. N. Paranietharan saat berkunjung ke Gedung Kementerian Kesehatan RI di Kuningan, Jakarta, medio April lalu menyebut jumlah kasus dan kematian akibat COVID-19 hampir di semua negara sudah amat rendah.
Itulah antara lain alasan mengapa WHO menyatakan bahwa COVID-19 sudah bukan darurat kesehatan global lagi terhitung mulai 5 Mei 2023.
WHO menganggap Indonesia sudah memiliki kesiapan matang menghadapi COVID-19, di antaranya dengan memperbanyak industri vaksin nasional, laboratorium diagnostik, hingga penanganan yang lebih yang baik dibanding saat masa krisis.
Hari keramat
Endemi, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, adalah suatu kondisi di mana penyakit menjangkit di suatu wilayah terbatas pada populasi tertentu.
Dari definisi itu, penting untuk mengetahui bahwa endemi bukan berarti penyakitnya hilang dari Indonesia, tapi risiko yang ada sudah menurun dan tidak lagi mengerikan seperti pada masa krisis sebelumnya.
Dilansir dari laporan Kemenkes RI, grafik penurunan kasus COVID-19 sebenarnya sudah berlangsung sejak 25 Desember 2022 yang bergerak konsisten di bawah 5.000 kasus terkonfirmasi harian.
Bagi sebagian orang, COVID-19 sudah dianggap lenyap beberapa bulan sebelum Presiden Jokowi mengumumkan endemi secara resmi.
Itu terlihat dari sikap terhadap protokol kesehatan mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker yang kadung dianggap usang atau bahkan sudah dilupakan oleh sebagian besar masyarakat.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) Pandu Riono pernah mengunggah pernyataan "Horeee Rakyat Indonesia Menang Melawan Pandemi" di akun Instagramnya beberapa pekan sebelum endemi diumumkan.
Sebagai bagian Tim Serologi Survei Nasional, Pandu pernah memberi masukan melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar endemi diumumkan bertepatan dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2023.
Momentum bersejarah itu dianggap mewakili kebiasaan Pemerintah RI yang terkesan gemar mengumumkan keputusan penting pada "hari keramat".
Meski dugaannya waktu itu meleset, penetapan tanggal mengakhiri status darurat kesehatan nasional tetaplah momentum keramat karena tepat pada hari ulang tahun ke-62 Presiden Joko Widodo.
Lebih dari 3 tahun sejak kali pertama COVID-19 masuk ke Indonesia, tepatnya 2 Maret 2020, perjuangan kolektif menghadapi pandemi mulai dilakukan seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 yang kemudian disusul dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 yang menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional.
Setahun kemudian, Pemerintah menyatakan status faktual pandemi COVID-19 di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2021.
Sejak itu pula, berbagai ikhtiar melawan COVID-19 dilakukan Pemerintah secara agresif lewat berbagai strategi kendali memitigasi potensi lonjakan kasus.
Misalnya, metode genom sekuensing sebagai radar untuk mendeteksi kekuatan musuh dan kekebalan tubuh masyarakat sebagai sistem pertahanan semesta.
Kemampuan "radar" di Indonesia diperkuat 56 unit alat uji sampel virus, bakteri, hingga jamur yang kini tersedia di 41 jaringan laboratorium di seluruh daerah di Indonesia, dengan kemampuan laporan mencapai 2.700 sampel per pekan.
Pada strategi pertahanan semesta, diterapkan metode ukur kadar antibodi masyarakat yang diperoleh secara alami akibat infeksi maupun program vaksinasi pemerintah. Pengukuran dilakukan lewat serologi survei secara berkala setiap enam bulan.
Pada sistem pertahanan akhir, disiapkan jaminan pembiayaan bagi pasien COVID-19, vaksinasi gratis, hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Indonesia juga memperkuat pertahanan lewat kemampuan industri farmasi nasional, seperti Bio Farma, Biotis Pharmaceutical, dan Etana Biotechnologies Indonesia yang sanggup memproduksi vaksin dan obat-obatan antivirus untuk kebutuhan jangka panjang.
Capaian itu merupakan bekal yang cukup bagi Bangsa Indonesia untuk mengarungi masa endemi COVID-19, bahkan pandemi pada masa depan. Tinggal, bagaimana masyarakat mau membawa segala kebiasaan baik menjaga prokes dan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
Tepat kiranya jika Pandu Riono menyebut endemi sebagai kemenangan bagi rakyat Indonesia, apalagi bika perjuangan kolektif itu terus dipertahankan, bahkan pada masa endemi seperti sekarang ini.
Editor: Achmad Zaenal M