Contoh berikut hanyalah beberapa dari banyaknya peristiwa yang dipicu masalah gawai, gim, dan tontonan hingga membuat manusia kehilangan akal budi.
1. Rabu, 7 Maret 2018. Seorang siswa Madrasah Darussalam, Kecamatan Pontianak Timur, Pontianak, Kalimantan Barat, NF menganiaya gurunya, Nuzul Kurniawati, karena tak terima ditegur saat menggunakan telepon genggam ketika pelajaran berlangsung. NF memukul Nuzul dengan kursi plastik hingga korban dibawa ke rumah sakit terdekat, kemudian dirujuk ke RSUD Soedarso untuk menjalani pemindaian atau scanning di bagian kepala.
2. Rabu, 8 Juli 2020, seorang guru di Banyuasin, Sumatera Selatan, E (49) diperkosa mantan murid SD-nya berinisial AR (18), warga Desa Marga Rahayu, Kecamatan Sumber Marga Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Pelaku yang baru selesai menonton film porno menyambangi rumah korban dan memerkosa mantan gurunya itu. Karena E memberontak, pelaku kemudian menganiaya dan membunuh korban. Menurut pengakuan di hadapan polisi, pelaku dendam kepada korban yang sempat memergokinya mencuri.
3. Jumat, 8 April 2022. Seorang ibu di Ulak Bandung, Kecamatan Muara Sahung, Kabupaten Kaur, Bengkulu dianiaya anak kandungnya sendiri BH (19) gara-gara masalah kuota Internet. Korban memberikan uang Rp60 ribu, namun tersangka menganggap uang sejumlah itu tidak cukup untuk membeli paket Internet. BH lantas memukul ibunya hingga dia harus berurusan dengan Sat Reskrim Polres Kaur.
4. Minggu, 18 September 2022. Riski Anderiansah (20), warga Jalan Lematang Desa Lubuk Ampelas, Kecamatan Muara Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tega menghajar dan meludahi ibu kandungnya, Marlina, hanya gara-gara ponsel.
Pelaku diam-diam mengambil HP korban dari kamarnya, setelah beberapa jam digunakan, korban menanyakan HP-nya, namun tersangka enggan mengembalikan. Beberapa kali ditanyakan kembali, membuat tersangka marah dan memukul ibunya dengan besi batang kipas angin hingga mengakibatkan korban mengalami luka-luka lebam.
5. Senin, 6 Februari 2023. Seorang ayah AB (25) warga Wanea Kota Manado, Sulawesi Utara, tega menganiaya anak bayinya hingga meninggal dunia. Pelaku memukul kepala dan bibir JV, bayi berusia 6 bulan itu, hanya karena merasa terganggu tangis anaknya saat dirinya bermain gim jenis Mobile Legend.
Sekarang vs dulu
Pelaku kejahatan yang masih berusia relatif muda, biasanya buah dari toleransi ketiadaan adab pada masa anak-anak. Akibat salah asuh, pembiaran, atau pengekangan berlebihan dapat menghasilkan anak dengan kelakuan bermasalah.
Sejumlah fakta berikut menggambarkan hal-hal yang salah namun telah lumrah terjadi di masyarakat sekarang dan perbedaannya dengan zaman dahulu.
- Tidak takut dosa. Anak yang tidak mempan dinasihati dengan “ancaman” dosa. Dinasihati orang tua dengan 1-2 kalimat, dia bisa membantah dengan produksi kata-kata yang lebih berlimpah. Dosa bukan suatu yang dia takuti, rida orang tua bukan hal yang dia cari. Egonya tinggi, segala keinginannya harus dituruti.
Anak zaman dahulu, jangankan diancam dosa, dibilang pamali saja sudah langsung mundur teratur dan nurut apa kata orang tua. Apa yang dinasihatkan orang tua ‘diiyakan’ saja meski dalam hati tidak menyetujuinya. Karena menyenangkan hati orang tua demi memperoleh ridanya adalah hal terpenting buat anak. Bila ingin meminta sesuatu, anak terlebih dulu melihat kondisi orang tua. Jika sekiranya tidak memungkinkan lebih baik urung disampaikan.
- Guru takut murid. Di berbagai sekolah bergengsi berbiaya mahal, guru biasanya “takut” dengan murid karena bila ditegur atau diperingatkan akan kesalahannya, urusannya bisa panjang. Si anak pejabat, orang kaya, atau terpandang itu akan mengadukan ke orang tua, kemudian orang tua bisa saja melabrak guru dan pihak sekolah, atau ancaman memviralkan peristiwa di media sosial.
Pada masa lalu, sosok guru sangat dihormati dan disegani. Orang tua betul-betul mempercayakan pendidikan anaknya terhadap guru sehingga anaknya dididik dengan cara bagaimana pun pasrah saja. Ketika anak mengadukan perlakuan guru ke orang tua, malah anak yang dimarahi dan disuruh patuh kepada guru.
- Gurunya itu gawai. Anak-anak hingga bayi sudah kecanduan gawai karena orang tua tidak mau repot mengasuh anak. Ketika anak rewel, jalan pintasnya adalah dipegangi gawai untuk menonton Youtube, TikTok, atau platform berbagi video sejenisnya. Gawai menjadi guru setia anak-anak setiap hari.
Anak-anak zaman dulu, guru dan lainnya adalah alam. Mereka bermain di luar bersama teman-teman dengan permainan tradisional yang membuat mereka aktif bergerak dan berinteraksi sosial.
- Kebutuhan pokok kuota. Kebutuhan pokok bukan lagi sembako, kini telah bertambah satu jenis lagi dan itu menjadi yang utama, yaitu kuota. Dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga anak-anak, mereka menganggap kuota sebagai kebutuhan utama. Anak bisa mengamuk ke orang tua bila tidak dibelikan kuota sehingga permainan gimnya terhenti karena kehabisan kuota.
Kebutuhan pokok pada zaman kakek nenek dulu, benar-benar kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup, tidak aneh-aneh, menjalani hidup secara bersahaja dan menikmati kedamaian. Bahan makanan diambil dari apa yang disediakan alam tanpa cemaran kimiawi sehingga mereka memiliki keluhuran budi.
Generasi Emas
Memperbaiki pola didik adalah hal mendesak sebelum budi pekerti benar-benar akan mati oleh sebab perilaku adiksi terhadap teknologi.