Namun, salah satu platform digital, yakni Google, menyampaikan keberatan terkait rancangan perpres tersebut. Google khawatir regulasi ini dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik.
Google menyatakan bahwa apabila peraturan tersebut disahkan dalam bentuk yang sekarang, hal itu dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk menyediakan sumber informasi daring yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk Google di Indonesia.
Pasalnya, aturan tersebut dianggap memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul di media daring dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.
Google menilai peraturan itu hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita dan membatasi kemampuan mereka untuk menampilkan beragam informasi dari ribuan penerbit berita lainnya di seluruh Indonesia.
"Termasuk merugikan ratusan penerbit berita kecil di bawah naungan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Masyarakat Indonesia yang ingin tahu berbagai sudut pandang pun akan dirugikan karena mereka akan menemukan informasi yang mungkin kurang netral dan kurang relevan di internet," argumen Google.
Baca juga: Rekam aksi pengeroyokan, seorang jurnalis ikut dikeroyok
Merespons keberatan Google, Usman pun mengakui bahwa Perpres Publisher Rights tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak.
Usman mengatakan pemerintah telah berupaya untuk mencari titik temu dengan berbagai pihak, termasuk dengan platform digital terkait regulasi tersebut.
Salah satunya ketika platform digital sempat mempersoalkan salah satu pasal dalam rancangan Perpres mengenai Hak Penerbit.
Pihak platform, kata dia, awalnya menolak salah satu pasal dalam rancangan Perpres yang mengharuskan mereka menyeleksi berita sesuai dengan kode etik jurnalistik maupun Undang-Undang Pers.
Platform digital di antaranya menyatakan bahwa mereka belum memiliki algoritma untuk melakukan seleksi semacam itu dan menganggap kewenangan tersebut bukan bagian dari tugas mereka sebagai platform.
Setelah berdiskusi, akhirnya disepakati satu pasal dalam rancangan Perpres yang menyatakan platform tidak boleh menyalurkan berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik melalui mekanisme pelaporan. Adapun pelaporan tersebut dapat dilakukan oleh Dewan Pers, perusahaan pers, maupun masyarakat.
Sehingga, kata Usman, jika ada berita yang dilaporkan tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik, platform digital harus menghapusnya dari daftar mereka.
"Itu lah salah satu cara mencari titik tengah, mencari titik temu, karena itu sebetulnya dalam proses mencari titik temu ini sangat tergantung pada para pihak maukah saling memahami satu sama lain, maukah kita tidak memaksakan gagasan kita harus diterima termasuk juga platform (digital)," ujar Usman.
Update Berita Antara Bengkulu Lainnya di Google News