Sebuah survei dari platform keuangan pribadi daring, Credit Karma, beberapa waktu lalu, menemukan hampir 40 persen milenial menghabiskan uang yang tidak dimilikinya dan terlilit utang demi gaya hidup dan hubungan sosial.
Rata-rata pengeluaran tersebut dihabiskan demi sebuah pengalaman, seperti berlibur, pesta, kehidupan malam, hingga pernikahan. Bahkan, milenial rela berutang demi makanan, pakaian, alat elektronik, perhiasan, dan mobil.
Antropolog ekonomi asal AS, David Rolfe Graeber, mengemukakan bahwa dengan bergulirnya sejarah dan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, utang berkembang melampaui urusan ekonomi, finansial, negara, dan pasar belaka. Padahal, mulanya utang hanyalah bentuk relasi sosial sederhana yang berkaitan dengan jasa, balas budi, barter, dan aktivitas sosial-ekonomi kemanusiaan sehari-hari.
Berutang tanpa alasan kedaruratan bisa menjadi awal petaka, apalagi bila itu hanya digunakan untuk sekadar membiayai gaya hidup dan gengsi demi bisa “seperti orang-orang”. Bagaimana jika teman-teman atau orang-orang yang menjadi kiblat gaya hidup itu mereka yang telah mencapai kemerdekaan finansial, sedangkan penirunya belum berpenghasilan? Apa tidak akan babak belur?
Baca juga: Rentan terjerat pinjol, perempuan diminta jangan bergaya berlebihan
Tak jauh berbeda pada masyarakat urban, warga perkampungan pun banyak terlilit utang akibat ingin “dipandang orang”. Seperti di perdesaan di wilayah Bogor, Jawa Barat, ada tradisi pesta pernikahan yang seolah mengharuskan disertainya panggung hiburan musik dangdut dan rangkaian petasan untuk menyambut kedatangan rombongan besan. Jika dihitung secara kasar, rangkaian petasan berdurasi sekitar 15 menit itu membakar uang minimal Rp1 jutaan, sedangkan panggung dangdut berbiaya belasan juta.
Bukan hanya orang berada yang menggelar pesta meriah, tetapi para warga penerima bansos pun memaksakan diri menikahkan anak-anaknya dengan “standar pesta” semacam itu. Akibatnya, daerah itu terkenal dengan warga banyak utang. Sementara tingkat perceraian di wilayah tersebut cukup tinggi, sehingga ada seloroh, “Utangnya saja belum lunas, pengantinnya sudah cerai”.
Menggelar pesta pernikahan di daerah ini tak ubahnya seperti judi. Tuan rumah membiayai pesta (termasuk panggung dangdut) dengan uang pinjaman, lalu berharap tertutupi dari sumbangan amplop para tamu yang datang. Bukan rumor, namun sudah menjadi rahasia umum. Jumlah sumbangan dalam amplop yang diberikan tamu, kemudian dianggap sebagai utang, yang akan dikembalikan ketika pemberi sumbangan kelak menggelar pesta juga. Begitu bergulir seterusnya.
![](https://img.antaranews.com/cache/730x487/2022/10/13/IMG-20221009-WA0022.jpg)
Apa adanya
Hidup apa adanya, lurus-lurus saja, tidak aneh-aneh, adalah jurus sederhana terhindar dari utang. Utang, sejalan perkembangan sistem keuangan, jenisnya kian variatif, menjadi setan modern yang gencar menggoda calon korban dengan kamuflase nan menawan. Jebakan utang hadir dalam iklan dan promo manis yang mengiming-imingi konsumen "lemah iman" dengan potongan harga, kemudahan cicilan, dan bisa bayar belakangan.