Jakarta (ANTARA) - Asisten Profesor dan Koordinator Program Magister Keamanan Siber Monash University, Indonesia Dr. Erza Aminanto menjelaskan bahwa ransomware adalah varian malware berbahaya yang digunakan oleh peretas untuk mengunci akses ke data korban dan meminta uang tebusan untuk pemulihannya.
“Serangan ransomware di Indonesia tidak hanya menginfeksi komputer, tetapi juga menargetkan perangkat seluler dan Internet of Things (IoT). Ini menunjukkan bahwa seluruh ekosistem digital kita rentan,” kata Aminanto kepada ANTARA, Senin (1/7).
Baca juga: Praktisi IT paparkan sejumlah strategi untuk amankan penyimpanan data
Dia menjelaskan, negara-negara maju seperti Inggris, yang memiliki lembaga siber kuat dan barisan akademisi ahli, bahkan tidak kebal terhadap serangan ransomware.
Layaknya virus yang bermutasi, ransomware mengeksploitasi kemajuan teknologi seraya mencari celah kerentanan manusia dalam berkegiatan siber.
Oleh karenanya, sangat penting bagi setiap negara, termasuk Indonesia, untuk memperkuat keamanan digital melalui peningkatan kualitas manajemen siber para pemangku kepentingan di bidang pengelolaan data terhadap ancaman-ancaman terkait.
Contoh lain yang menunjukkan betapa bahayanya ransomware adalah serangan serupa di Inggris pada awal Juni 2024, yang berdampak sangat buruk hingga mengancam ratusan jiwa.
Baca juga: Imigrasi apresiasi desa adat di Bali bantu ungkap kasus siber
Serangan ini melumpuhkan layanan kesehatan di beberapa rumah sakit dan pusat patologi, sehingga menyebabkan layanan donor darah terhenti selama berhari-hari.
Situasi mendesak ini merupakan taktik yang digunakan para peretas untuk menekan korban agar memenuhi tuntutannya.
Indonesia juga menghadapi ancaman serupa, meskipun rincian dan kronologi awal serangan belum sepenuhnya jelas.