Supendi memperlihatkan lalat BSF yang disangkar untuk budi daya maggot di Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Selasa (10/9/2024) ANTARA/Yuvensius Lasa Banafanu
Supendi mengawali budi daya maggot karena mengamati sampah rumah tangga yang tidak terurus baik, bahkan dibuang begitu saja di setiap lokasi yang bukan diperuntukkan sebagai tempat pembuangan sampah.
Tak hanya itu, kebutuhan pupuk di wilayah yang dominan area pertanian itu pun ikut memberikan dorongan bagi pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, itu untuk memproduksi pupuk alami dengan memanfaatkan limbah atau sampah rumah tangga sebagai sesuatu yang bermanfaat.
Termotivasi tekad mengurangi sampah rumah tangga di lingkungan permukiman, Supendi bersama anggota kelompok mulai belajar secara otodidak dari berbagai sumber tentang cara dan sistem budi daya maggot.
Setelah mendapat banyak pengetahuan, ia akhirnya tahu bahwa lalat BSF memiliki beragam manfaat. Selain memberikan dampak positif pengurangan sampah organik, lalat BSF juga bisa menjadi nutrisi tambahan untuk ternak unggas, lele, bahkan menjadi pupuk alami tanaman.
"Dari situlah kami merasa bahwa budi daya maggot ini wajib dikembangkan," kata dia kepada ANTARA di kediamannya di Aimas, Kabupaten Sorong.
Budi daya maggot termasuk mudah dilakukan karena tidak memerlukan teknik khusus sehingga semua orang sebenarnya bisa melakukannya. Biaya yang dikeluarkan pun murah, hanya butuh konsistensi dalam perawatan intensif lalat BSF.
Berbekal pengetahuan dan tekad bersama anggota kelompoknya, ia mulai membangun tempat budi daya maggot dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Konstruksi bangunan rumah produksi maggot BSF yang dibuatnya terlihat sederhana. Bangunan itu berbahan material dari kayu dan papan bekas serta seng yang sudah usang. Sepintas rumah produksi itu mirip gubuk, padahal di sinilah rumah bagi puluhan hingga ratusan ribu maggot berkembang biak.
Supendi dan anggotanya yakin bahwa tujuan mengembangkan sesuatu yang bermanfaat dan memiliki manfaat tidak bakal terkikis. Bahkan tekad itu malah terus mendorongnya untuk berinovasi guna menjawab tantangan penanganan sampah organik di Sorong.
Selain gubuk, Supendi dan kelompoknya membuat sebuah kandang berukuran sedang yang dilengkapi dengan fasilitas atau media ala kadarnya sebagai tempat BSF untuk memproduksi telur-telur sebagai bibit maggot.
"Dua hari sekali kami panen telur lalat BSF dengan volume seberat 20--30 gram sekali panen," ungkap Supendi.
Setiap panen telur BSF selalu diikuti dengan penimbangan untuk mengukur kebutuhan sampah yang diperlukan setelah telur lalat menetas. Jika panen telur per hari 20 gram berarti pada saat usia telur lalat menetas 10--12 hari sudah banyak membutuhkan sampah organik. Per satu gram telur lalat yang telah menetas bisa memerlukan 2 kg sampah organik setiap hari.
Total akumulasi yang berhasil dipanen selama satu periode sekitar setengah kilogram telur BSF. Itu berarti kebutuhan sampah untuk makanan nutrisi setengah kilogram telur BSF kurang lebih 1 ton sampah organik.
Bagi kelompok itu, terbatasnya fasilitas pengangkut sampah tidak menjadi halangan untuk terus mengembangkan usaha maggot BSF. Bermodalkan komitmen kuat, akhirnya ada sebuah mobil pikap hasil swadaya untuk mengangkut sampah di setiap rumah warga. Sampah organik yang diangkat setiap hari mencapai 500 kg dari rumah warga untuk kebutuhan budi daya maggot BSF.
Sejauh ini, hasil budi daya maggot hanya untuk memenuhi kebutuhan kelompok, belum dijual ke pihak luar. Telur lalat BSF berubah menjadi maggot pada media yang telah disiapkan untuk budi daya maggot di Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Selasa (10/9/2024). ANTARA/Yuvensius Lasa Banafanu
Solusi terbaik atasi sampah organik
Dalam skala lebih luas, maggot BSF yang mampu mengurai sampah organik, dianggap sebagai salah satu solusi terbaik dalam penanganan dan pengurangan sampah di wilayah Papua Barat Daya.