Dalam rentang perjalanan kariernya sebagai prajurit dan purnawirawan, Sjafrie dikenal sebagai perwira TNI yang cakap, tokoh militer dan birokrat yang berpengalaman mengurusi bidang-bidang pertahanan.
Selepas lulus dari Akademi Militer pada 1974, Sjafrie, juga bersama Presiden Prabowo, sama-sama masuk Korps Baret Merah Komando Pasukan Sandi Yudha — yang saat ini dikenal sebagai Kopassus. Keduanya juga sama-sama pernah bertugas dalam operasi militer penting, salah satunya di Timor-Timor.
Dalam riwayat penugasannya, Sjafrie pernah memimpin pasukan untuk meredam pemberontakan di Timor-Timor, kemudian di Aceh, Irian Jaya, dan kembali bertugas di Timor-Timor. Dia kemudian dipercaya sebagai Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), yang bertugas mengawal dan menjaga keselamatan Presiden Ke-2 RI Soeharto, termasuk pada 1995 saat Soeharto berkunjung ke zona perang di Bosnia Herzegovina.
Baca juga: Hasan Nasbi: Kabinet Prabowo jauh lebih fokus
Selepas mengawal "Bapak Pembangunan" selama beberapa tahun, Sjafrie mendapat promosi mengisi jabatan bintang satu menjadi Komandan Resor Militer (Danrem) 061/Surya Kencana (1995–1996), kemudian Kepala Staf Garnisun Tetap (Kasgartap) 1-Ibu Kota (1996), Kepala Staf Kodam (Kasdam) V Jaya (1996), dan Panglima Daerah Militer V Jaya.
Sjafrie saat itu menjadi Pangdam Jaya menggantikan Mayjen TNI Sutiyoso. Dia mengisi jabatan bintang dua itu tak lama setelah Prabowo menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus.
Penugasan Sjafrie menjadi Pangdam Jaya terjadi pada masa-masa menjelang kejatuhan Soeharto yang diwarnai berbagai aksi massa, demonstrasi, hingga kerusuhan dan penjarahan. Sjafrie, sebagaimana dituturkan dalam beberapa buku dan saksi sejarah, dinilai sebagai pemimpin yang piawai meredam dan mencegah kerusuhan massa berlarut-larut.
Saat itu, dia mengerahkan pasukan untuk berkeliling dan berjaga di daerah-daerah rawan. Bahkan, Sjafrie turun langsung memastikan Jakarta kembali aman dan kondusif dengan ikut berpatroli naik kendaraan tempur keliling Jakarta.
Selepas kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998, Sjafrie kemudian mengisi jabatan sebagai Asisten Teritorial (Aster) Kepala Staf Umum (Kasum) TNI, Staf Ahli (Sahli) Panglima TNI, Koordinator Staf Ahli (Koorsahli) Panglima TNI, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI (2002), dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Pertahanan (2005–2010). Departemen Pertahanan (Dephan) sejak 6 November 2008 berganti nama menjadi Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI.
Selepas pensiun sebagai prajurit pada 2010, Sjafrie langsung dipercaya membantu pemerintahan, antara lain selama periode kedua pemerintahan Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Wakil Menteri Pertahanan (2010–2014), kemudian sebagai Asisten Menteri Pertahanan bidang Manajemen Pertahanan (2019–2024).
Dalam rentang waktu sebagai asisten Menhan, Sjafrie juga berhasil meraih gelar doktoralnya di Universitas Pertahanan pada 2023 dengan disertasi berjudul “Pengembangan Model Kerja Sama Sipil Militer dalam Pengelolaan Kebijakan Umum Pertahanan Negara Indonesia”.
Baca juga: Presiden Prabowo lantik 48 menteri dan 5 pejabat Kabinet Merah Putih
Dalam karya disertasinya itu, Sjafrie mengusulkan dibentuknya Dewan Pertahanan Nasional sebagai model kerja sama sipil militer dalam menjalankan kebijakan umum pertahanan negara (jakumhanneg). Buah pikiran Sjafrie saat itu diuji langsung oleh Direktur Pascasarjanan Universitas Pertahanan Mayjen TNI Joni Widjayanto, Letjen TNI (Purn) Yoedhi Swastanto, Surachman Suraatmadja, Kolonel Laut (K) Sutanto, dan dua penguji eksternal yaitu Jimly Asshiddiqie, dan Ryaas Rasyid.
Berbekal riwayat penugasan, pengalaman, dan latar pendidikan yang lengkap, tentu Sjafrie diharapkan dapat melanjutkan berbagai pekerjaan yang masih tersisa di Kementerian Pertahanan sekaligus membuat terobosan-terobosan untuk memastikan NKRI terlindungi, disegani, dan berdaya gentar baik di kawasan maupun dunia.