Islam mengajarkan bahwa setiap individu, terutama perempuan, memiliki martabat yang harus dihormati, dan pernikahan paksa tidak bisa menjadi solusi yang sah atau adil dalam kasus pemerkosaan.
Dalam hal ini, korban harus diberikan kesempatan untuk melanjutkan hidup dengan penuh martabat, mendapatkan keadilan yang mereka perlukan, dan perlindungan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang mengedepankan hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Islam sangat menekankan penghormatan terhadap martabat manusia, termasuk dalam hal perlindungan terhadap perempuan. Martabat ini berasal dari pengakuan Islam terhadap nilai dan kehormatan setiap individu. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-Isra ayat 70:
"...Dan sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak Adam; kami angkut mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki yang baik, dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan..." (QS 17:70)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia, termasuk perempuan, memiliki martabat yang harus dihormati.
Dalam konteks pemerkosaan, penghormatan terhadap martabat korban adalah hal yang utama, dan perlindungan terhadap martabat ini menjadi dasar bagi kebijakan hukum yang adil dan berperikemanusiaan.
Dasar hukum berikutnya yaitu hadis nabi. Bukhari dan Muslim pernah meriwayatkan: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai dia dimintai persetujuannya, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sampai dia dimintai persetujuannya.”
Hadis ini menekankan bahwa pernikahan dalam Islam harus berdasarkan pada persetujuan kedua belah pihak tanpa ada paksaan.
Pada kasus pemerkosaan, ketika korban tidak dapat memberikan persetujuan bebas, memaksakan pernikahan tidak hanya bertentangan dengan hadis di atas, tetapi juga merendahkan martabat korban.
Dalam kajian hukum perkawinan Islam, prinsip keadilan sangat jelas menjadi dasar untuk penegakan hukuman yang adil terhadap pelaku kejahatan.
Menyelesaikan kasus pemerkosaan dengan pernikahan paksa tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan ini, tetapi juga berisiko merugikan korban lebih lanjut.
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya.