Jakarta (ANTARA Bengkulu) - Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan pemerintah memfokuskan pengelolaan tanah di kawasan hutan dari lahan-lahan kritis untuk rakyat bahkan hingga selama 60 tahun meskipun bukan untuk dimiliki.
"Memang di kawasan hutan lahan-lahan yang kritis itu diutamakan diberikan akses pengelolaannya kepada rakyat. Itu tanah kritis yang utama diberikan kepada rakyat. Tanah itu dipinjamkan, dan lahan kritis yang ada sebanyak 20 ribu hektare," kata Menhut pada Seminar "Tanah untuk Rakyat : Paradoks Pembangunan Berbasis Keadilan Akses Penguasaan Lahan" di Jakarta, Rabu.
Seminar diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Publik Sabang Merauke Circle (SMC) untuk memperingati Hari Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria setiap 26 September.
Seminar juga menghadirkan Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan, Ketua Panja RUU Pertanahan DPR RI Abdul Hakam Naja, Analis Pertanahan dan Ketua Dewan Pengarah SMC Arwin Lubis, Ketua Komisi IV DPR M Romahurmuzy, Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Udhoro Kasih Anggoro, dan Direktur Sajogya Institut Noer Fauzi Rachman.
Menurut Menhut, zaman reformasi terjadi deportasi 3,5 juta pohon per tahun dengan banyaknya sistem tebang bebas pepohonan. Untuk hutan lindung, ucap Zulkifli, merupakan kewenangan masyarakat, dan hutan produksi dikelola oleh masyarakat, namun terkait izin harus melalui bupati.
"Maka yang minta izin itu melalui Bupati, tanpa bupati itu tak bisa. Tak bisa karena harus ada izin dari Bupati. Itu UU otonomi daerah. Karena Bupati setuju, maka gubernur setuju. Dan Kemenhut menelaah dan mengkaji terkait izin dalam pengelolaan hutan produksi tersebut. Karena itu kewenangan itu konkuren. Kewenangan itu 80 persen Bupati. Itu SIUP, dan izin tambang itu Bupati," kata Zulkifli.
Permasalahan hutan harus bisa dikelola kawasan-kawasan HPH, apalagi hutan-hutan di Indonesia telah habis, karena itu Kementerian Kehutanan melakukan moratorium penebangan hutan.
"Pertama, hentikan penebangan hutan. Karena tiap jengkal tanah itu ada pemiliknya. Di mana tanah yang kosong tidak ada. Kedua, yang saya lihat habis hutannya bila tak ada kebijakan yang luar biasa. Oleh karena itu dua kebijakan saya. Itu pertama hentikan penebangan hutan. Itu perlawanan luar dan dalam. Moratorium itu kita lakukan Februari 2010, karena itu saya menggandeng pihak asing. Ada 65 juta hektar hutan yang tak bisa diganggu gugat," katanya.
Ia mencontohkan pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat ada perpindahan penduduk dari Lampung ke Sumsel sekitar 10 ribu lebih yang datang. Itu mendapatkan penghargaan Heritage. "Artinya bagi kami lahan untuk rakyat tidak basa-basi. Dua hal itu yang kami lakukan," katanya.
Terkait kasus Mesuji, menurut Zulkifli, yang merupakan kampung halamannya, dengan luas 30 ribu hektare dan merupakan tanah ulayat dan tanah adat. Awalnya masyarakat yang datang terkait tanah tersebut sebanyak 7.000 jiwa, namun kemudian menjadi 10 ribu masyarakat yang mendatangi tanah tersebut.
"Kalau betul hak ulayat dan hak adat itu kita kembalikan. Kalau itu tanah pengusaha itu kita kembalikan," katanya.
Sementara itu Abdul Hakam Naja mengatakan, sejak 52 tahun UU Pokok Agraria diterapkan di Indonesia, terjadi perbedaan pendapat terkait apakah UU tersebut masih relevan.
"Sebagian ada yang bilang relevan, karena mengatur tentang pertanahan. Ada yang sebagian yang melihat itu diatur lagi karena faktor sektoral seperti penanaman modal, pertanian. Dan ada peraturan yang bisa dimiliki individu namun untuk korporasi berapa. Sekarang ada koorporasi yang miliki 75 ribu hektar, dulu ada 1 juta hektar. Inilah yang saya kira jadi perhatian kita tentang penataan lahan," kata Abdul Hakam.
DPR, katanya, melakukan inisiatif merevisi UU pertanahan, dengan semangat reformasi agraria untuk masyarakat. Penerapannya adalah, pertama menempatkan tanah atas bangsa. Jadi tanah adalah hak bangsa, memang tidak ada peluang orang asing miliki tanah. Kedua, adalah pengusahaan tanah.
"Tanah itu harus diusahakan, karena tanah itu untuk rakyat. Sekarang itu ada surat menteri terkait agraria, dengan pengusahaan tanah itu 20 ribu. Ketiga, bagaimana kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah, dapat memiliki tanah," katanya.
"Seharusnya rakyat yang lebih besar. Rakyat yang menanam, dan mengelolah. Ada 7 juta tanah terlantar. Itu ada pengusaha yang tidak mengelolahan tanah. Rakyat diberikan mengelolah tanah itu tetap tanah negara, namun pengalaman itu dijual. Kalo disertifikat itu perlu ada penatagunaan tanah, pengusahaan tanah, dan redeposisi tanah," katanya. (ANT)