Purwokerto (ANTARA) - Kuasa hukum pesohor Ashanty Hastuti alias Ashanty Hermansyah, Fatma, menilai gugatan wanprestasi yang diajukan Martin Pratiwi terhadap kliennya tidak berdasarkan hukum.
"Menurut kami, gugatan ini tidak berdasar dan tidak berdasarkan hukum. Silakan saja nanti dibuktikan di persidangan," katanya usai sidang dengan agenda pembacaan gugatan di Pengadilan Negeri Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa siang.
Salah satu contohnya adalah gugatan di PN Tangerang, Banten, sudah diajukan dan dicabut sendiri oleh penggugat dengan alasan akan dipindah ke Purwokerto.
Menurut dia, ternyata dalam gugatan yang dibacakan dalam sidang di PN Purwokerto ada yang berbeda, ada yang berubah, dan sebagainya.
"Jadi, kelihatan penggugat enggak ngerti, dia sebetulnya mau apa, mau minta apa, enggak jelas gugatannya. Tadi gugatannya sudah dibacakan, petitumnya dicek saja, gugatan di Tangerang seperti apa, silakan dicek sendiri. Nanti kami akan sampaikan semua bantahan kami, jawaban," kata dia didampingi rekannya, Sinta Romaida.
Menyinggung mengenai permintaan majelis hakim agar sidang dilaksanakan secara elektronik (E-Court), dia mengatakan bahwa pihaknya akan menjelaskan lebih dahulu kepada Ashanty.
"E-Court itu biasa, kami juga sudah tahu, hanya 'kan kadang-kadang klien tidak paham. Jadi, kami harus menjelaskan kepada klien dulu segala macamnya. Itu biasa, kok, enggak ada masalah sama sekali," tegasnya.
Dalam kesempatan terpisah, kuasa hukum Martin Pratiwi, Aditya Setiawan, mengatakan bahwa gugatan wanprestasi yang diajukan kliennya terhadap Ashanty telah memasuki pokok perkara setelah mediasi yang dilakukan sebelumnya tidak membuahkan hasil.
"Hari ini telah dilaksanakan persidangan yang pertama, artinya sudah masuk pokok perkara. Agenda hari ini adalah pembacaan gugatan dan nanti dilanjutkan jawaban pihak tergugat, ditunda 1 minggu, tanggal 14 Januari 2020," katanya.
Menyinggung soal sidang gugatan yang dilakukan secara elektronik, dia mengatakan bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik pada tahun 2020 diwajibkan melalui media elektronik.
"Kami siap melaksanakannya karena dari awal, kami sudah melakukan pendaftaran melalui media elektronik, E-Court. Tinggal persetujuannya dari pihak tergugat, nanti kelanjutannya minggu depan," katanya.
Sementara itu, dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua M. Arif Nuryanta serta beranggotakan Dian Anggraini dan Arief Yudiarto hanya dihadiri kuasa hukum dari Martin Pratiwi selaku penggugat dan kuasa hukum Ashanty selaku tergugat.
Sebelum mendengarkan pembacaan gugatan yang dilakukan oleh Aditya Setiawan selaku kuasa hukum penggugat, Hakim Ketua M. Arif Nuryanta menjelaskan ketentuan sidang secara elektronik yang wajib dilakukan dalam kasus perdata sejak 2020.
Oleh karena itu, dia meminta pihak penggugat maupun tergugat untuk bisa melaksanakan sidang secara elektronik pada persidangan berikutnya.
Akan tetapi, kuasa hukum tergugat, Fatma, menyatakan belum bisa melaksanakan sidang secara elektronik pada persidangan selanjutnya karena akan menyampaikan lebih dahulu kepada kliennya, yakni Ashanty.
Sementara itu, kuasa hukum penggugat, Aditya Setiawan, menyatakan siap untuk melaksanakan sidang secara elektronik.
Terkait dengan hal itu, Hakim Ketua akhirnya menyetujui untuk sidang selanjutnya masih dilakukan secara manual.
Setelah mendengarkan pembacaan gugatan, Hakim Ketua memutuskan sidang dilanjutkan pada tanggal 14 Januari 2020, kemudian meminta kepada kuasa hukum penggugat maupun tergugat untuk tetap hadir mengikuti sidang.
Seperti diwartakan, sidang gugatan wanprestasi tersebut berkaitan dengan kerja sama yang dilakukan oleh pengusaha kosmetik bernama Martin Pratiwi selaku penggugat dan Ashanty selaku tergugat.
Dalam hal ini, Ashanty tertarik untuk bekerja sama karena bisnis yang digeluti Pratiwi sudah berlangsung lama. Sebaliknya, Pratiwi bersedia menerima tawaran kerja sama itu karena Ashanty merupakan publik figur.
Terkait dengan hal itu, pada bulan November 2015, mereka mengumpulkan modal masing-masing sebesar Rp475 juta hinggga akhirnya pada bulan April 2016 produk siap dipasarkan dan dibuatkan perjanjian.
Namun setelah sepakat menjalin kerja sama, laporan bulanan dan pembagian hasil yang semestinya dilakukan setiap bulan, tidak dikerjakan, dan laporan baru ada pada bulan Agustus 2016.
Bahkan, Martin Pratiwi baru mendapatkan bagian dari bagi hasil sebesar Rp290 juta yang ditransfer oleh Ashanty pada bulan Oktober 2016 dan kontrak kerja sama kedua belah pihak diputus pada bulan April 2017.
"Baru dikasih lagi September dan itu juga belum pasti apakah itu pengembalian modal atau keuntungan karena omzetnya sendiri mencapai Rp18 miliar," kata Martin Pratiwi saat ditemui di PN Purwokerto pada tanggal 20 November 2019.
Gugatan terhadap Ashanty Hermansyah tak berdasarkan hukum
Selasa, 7 Januari 2020 16:32 WIB 881