Bengkulu (ANTARA) - Tim advokasi Langit Biru, kuasa hukum penggugat izin lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang memasukkan memori banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bengkulu No. 112/G/LH/2019/PTUN.BKL tanggal 17 Desember 2019.
Koordinator Tim Advokasi Langit Biru, Saman Lating mengatakan memori banding tersebut disampaikan mengingat putusan hakim PTUN Bengkulu yang menyebut ketiga penggugat tidak memiliki "legal standing" telah menciderai rasa keadilan.
Para penggugat yakni Harianto, menggantungkan hidupnya terhadap keselamatan laut, Jalaluddin yang mewakili kelompok rentan karena sudah lanjut usia serta Abdul Rasis yang mewakili petani dinyatakan oleh majelis hakim sebagai kelompok yang tidak berkepentingan atas terbitnya izin lingkungan (obyek sengketa).
Putusan majelis hakim menurut tim advokasi hanya disandarkan pada dokumen Amdal yang telah memuat informasi geofisik, biofisik serta memiliki Rencana pengelolaan dan rencana perlindungan lingkungan (RKP/RPL) serta telah membuat laporan persemester dari semua tindakan yang sudah dilaksanakan.
Selain itu, dengan dalih Proyek Strategis Nasional dimana pelanggaran tata ruang dapat dilakukan dengan mengacu kepada rencana tata ruang nasional sebagaimana ketentuan Pasal 2 Perpres No 3 Tahun 2016 jo. Prepres No 58 Tahun 2017. Perpres No 56 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Lating menyebut bahwa berdasarkan hasil penelurusan lebih dalam, Proyek Strategis Nasional Bidang Ketenagalistrikan dengan mendasari SK Menteri ESDM No. 1567 K/21/MEM/2018 dan telah diperbaharui dengan SK Menteri ESDM No. 39 K/20/MEM/2019 adalah tidak tepat dan menyesatkan, karena dalam rencana usaha pemenuhan kebutuhan energi listrik yang disahkan melalui Permen ESDM No. 1567 Tahun 2018 tersebut, “PLTU Bengkulu di Teluk Sepang” tidak masuk sebagai salah satu bagian dari proyek strategis khususnya di wilayah Sumatera. Karena proyek ini hanyalah bagian dari proyek pemenuhan energi listrik 35 ribu MW.
Selain itu basis argumentasi majelis dengan memasukan SK Menteri ESDM yang terbit tahun 2019, sementara izin lingkungan dimaksud (objek sengkta a quo) terbit pada tahun 2018, adalah pertimbangan hukum majelis yang keliru dan tidak cermat.
Karena SK Menteri ESDM Tahun 2019 dimaksud, tentulah tidak dapat diberlakukan surut (asas retroaktif) sebagai dasar hukum penerbitan izin lingkungan tersebut.
Warga penggugat, Harianto menegaskan bahwa majelis hakim salah dalam menetapkan putusan dengan menyatakan ia tidak mempunyai kepentingan atas terbitnya izin lingkungan.
"Kami adalah warga negara yang menggantungkan hidup atas keselamatan laut, udara tidak tercemar serta situasi sosial yang tenteram, PLTU akan merenggut semua itu," katanya.
Harianto menegaskan banding atas putusan PTUN yang dimasukkan hari ini adalah upaya melawan hal itu.
Sementara Olan Sahayu dari Kanopi Hijau Indonesia mengatakan tidak ada PLTU yang tidak menyebabkan turunnya kualitas lingkungan yang bermuara kepada marjinalisasi petani, hilangnya sumber daya laut serta membuat warga kehilangan jatinya dirinya sebagai petani dan nelayan, petani dan nelayan berubah menjadi buruh pabrik, tukang ojek dan serta aktivitas harian lainnya. Semua itu dilakukan hanya untuk menyambung hidup, karena tanah tak lagi subur, udara tak lagi bersih laut dan sungai tercemar limbah.
"Kami punya hak atas lingkungan yang sehat dan nyaman," katanya.