"Kalau suami, istri, atau anak merokok di rumah, artinya minimal dia telah melakukan dua tindakan kekerasan dalam rumah tangga," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam diskusi soal Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta, Selasa.
Tulus menjelaskan bentuk KDRT yang dilakukan adalah menyebabkan seluruh penghuni rumah berisiko mengidap penyakit yang dipicu oleh rokok.
"Maka bapak dan ibu wajib menegur keras, laporkan ke pihak berwajib kalau perlu," ujarnya.
Lebih lanjut Tulus menyebutkan perilaku KDRT selanjutnya adalah kekerasan dalam hal ekonomi, dimana uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli panganan yang bergizi, beralih untuk konsumsi rokok yang membawa risiko penyakit.
"Beli rokok seenaknya sendiri, anak gak dibeliin telur. Akibatnya stunting di DKI Jakarta tinggi. Masa kota kelas internasional masih ada stunting," ucapnya.
Untuk itu Tulus mengimbau kepada masyarakat untuk tidak merokok dan mengalihkan dana belanja rokok menjadi belanja lauk pauk yang bergizi. Selain itu pihaknya juga mendorong berbagai upaya pemerintah dalam membatasi penjualan dan penggunaan rokok di masyarakat.
Untuk diketahui, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2021 melaporkan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk belanja protein.
Untuk itu Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maria Endang Sumiwi telah mengajak kaum pria, khususnya para bapak, untuk berkontribusi pada program penurunan angka stunting dengan cara mengalihkan belanja rokok kepada kebutuhan protein untuk pertumbuhan anak.
"Ini fokus kami, karena angka stunting di Indonesia masih relatif tinggi menurut kategori WHO maksimal 20 persen populasi. Indonesia masih 21 persen, kalau 30 persen balita berpotensi terpapar rokok di rumah tangga, ini jadi salah satu hambatan dalam menurunkan stunting," ucapnya.