Bahkan, buaya muara tersebut sudah ada sejak dahulu di sungai tersebut, termasuk permasalahan konflik buaya dan manusia, namun tidak terdengar ada pencari lokan yang meninggal karena digigit buaya.
Berdasarkan cerita dari warga wilayah itu, nenek moyang mereka mencari lokan di Sungai Selagan menggunakan perahu, dan pantangan bagi mereka mencari lokan menggunakan pelampung.
"Menurut aturan nenek moyang dulu, tidak boleh pakai pelampung, seperti jerigen bekas penyimpanan oli diikat pakai tali," ujar Kepala Desa Tanah Harapan Bujarman.
Baca juga: Warga tangkap buaya liar pemakan ternak
Dulu, warga di wilayah itu melakukan tindakan sendiri menyewa pawang dari Palembang untuk menangkap buaya yang menganggu, bahkan menyerang warga yang mencari lokan di sungai tersebut.
Namun sekarang ini warga sudah tahu aturan, sehingga mereka tidak melakukan tindakan yang dapat melanggar perudang-undangan terkait perlindungan pada satwa dilindungi.
Selain itu, pemerintah desa juga menyarankan kepada warga untuk tidak melakukan tindakan melanggar hukum. Sebelumnya, warga bisa bergerak sendiri mengatasi buaya yang memangsa manusia.
"Kalau dari desa aman, namun warga tetap menunggu tindakan dari BKSDA untuk menangani buaya yang telah memangsa warga di wilayah ini," ujarnya.
Baca juga: KSDA berupaya evakuasi buaya pemangsa warga Mukomuko
Pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan BKSDA, termasuk berkirim surat untuk segera dilakukan tindakan penanganan terhadap buaya di Sungai Selagan.
Bujarman menegaskan bahwa jika BKSDA tidak segera melakukan tindakan terkait keberadaan buaya ini, dikhawatirkan warga melakukan tindakan sendiri.
Jangan dibunuh
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bengkulu selalu meminta warga agar tidak ada lagi buaya di Sungai Selagan Kabupaten Mukomuko yang mati karena dipancing, seperti yang terjadi pada Februari 2024.