Karawang (ANTARA) - Seorang pemimpin pondok pesantren di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Kiky Andriawan mengaku khilaf telah mengasari santriwati dengan kata-kata dengan maksud untuk mendisiplinkan peserta didiknya.
"Saya sadar, saya salah, khilaf, mungkin saya terlalu keras dalam mendidik sehingga terucap kata-kata kasar, tetapi saya lakukan itu, karena merekanya sendiri kadang-kadang lupa pada aturan. Tetapi saya pastikan, tidak ada kontak fisik secara langsung berupa hukuman kepada santri," katanya saat memberikan keterangan di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karawang, Jumat, mengenai pengaduan atas dirinya dalam kasus pelecehan.
Kiky Andriawan diadukan ke kepolisian atas tuduhan pelecehan seksual terhadap santriwati.
Kasatreskrim Polres Karawang, AKP Muhammad Nazal Fawwaz menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima laporan mengenai kasus pelecehan seksual atau pencabulan terhadap santriwati di pondok pesantren wilayah Majalaya, Karawang.
Atas laporan itu, pihaknya kemudian melakukan pendalaman dan kini telah diketahui identitas pelaku.
Pada Rabu (7/8) malam, sejumlah orang tua korban didampingi salah satu lembaga bantuan hukum di Karawang melaporkan kasus pencabulan yang diduga dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Majalaya, Karawang.
Laporan itu disampaikan ke Unit IV Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Karawang.
Sejumlah orang tua korban dikabarkan telah dimintai keterangan mengenai kasus yang dilaporkan itu, sesaat setelah melakukan pelaporan.
Kuasa Hukum Korban Saepul Rohman menyampaikan bahwa diduga pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Majalaya melakukan aksi pencabulan terhadap 20 santriwati saat proses pengajian.
Aksi itu, katanya, dilakukan oleh pimpinan pesantren dengan modus memberi hukuman kepada santriwati.
Pencabulan dilakukan dengan memegang area sensitif para korban yang kemudian korban diajak untuk menonton video dewasa.
Membantah
Kiky yang menjadi terlapor, membantah tuduhan tersebut.
"Saya memastikan bahwa isu dugaan pelecehan seksual yang bergulir itu tidak benar," katanya.
Ia mengatakan bahwa keterangan dalam laporan kasus dugaan pelecehan seksual yang dituduhkan kepada dirinya itu rancu dan terkesan dilebih-lebihkan.
Hal itu disampaikan karena jumlah santri yang duduk di kelas IX hanya berjumlah 16 santri, yang terdiri atas 11 perempuan dan lima laki-laki.
"Jumlah santri itu tidak sampai 20 orang, tetapi laporannya sampai ada 20 santri yang menjadi korban pelecehan seksual," katanya.
Ia menduga tuduhan terhadap dirinya itu dipicu akibat adanya santriwati yang merasa masih menyimpan kekesalan kepadanya, karena pernah ditegur akibat dilarang berpacaran.
Informasi mengenai adanya santriwati yang pacaran ini didapatkan dari sahabatnya di luar pondok pesantren.
"Karena saya khawatir, maka saya tegur. Mungkin ini yang membuat akhirnya santri saya masih menyimpan dendam. Kemudian santri ini mempengaruhi santri lain, dan membuat laporan yang lain-lain kepada orang tuanya," kata dia.
Ia juga menyesalkan dengan adanya pelaporan ini, sebab sebelumnya dirinya sudah membuat kesepakatan dengan para santriwati dan orang tuanya untuk tidak melanjutkan permasalahan tersebut.
"Saya didatangi oleh para santri beserta orang tuanya dengan tuduhan pelecehan seksual, bahkan saya dipermalukan di forum itu. Setelah saya jelaskan, akhirnya pada saat itu kami semua bersepakat untuk saling memaafkan dan tidak memperpanjang permasalahan ini, makanya saya kaget, tiba-tiba ada laporan masuk," katanya.
Ia akan meminta pendampingan hukum dari salah satu Lembaga Bantuan Hukum untuk terus mengikuti jalannya proses hukum yang berlaku.
"Kami pasti akan mengikuti proses secara hukum dan kami akan kooperatif apabila ada pemanggilan dari pihak kepolisian," katanya.
Jika ternyata pelaporan itu tidak terbukti, maka ia meminta agar pelapor bisa melakukan pembersihan nama terhadap lembaga-lembaga pesantren.
"Karena dengan adanya seperti ini, semua lembaga pesantren, tercoreng nama baiknya," katanya.