Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Psikologi Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) Innes Yonanda menilai pencegahan korupsi tidak cukup dilakukan dengan penegakan hukum semata, tetapi harus dimulai dari pendidikan karakter dan pembentukan integritas sejak usia dini melalui pendekatan psikologis.
"Korupsi itu sudah mulai berakar ke dalam cara berfikir sosial dan budaya. Tidak hanya dalam lingkup hukum saja, tapi lebih dalam dari sisi psikologi," ujar Iness di Kampus UNISA, Sleman, DIY, Rabu.
Menurut Innes, dari sisi individu, pelaku korupsi sering menggunakan mekanisme pertahanan diri terutama berupa rasionalisasi untuk mengurangi rasa bersalah atas tindakannya.
"Mereka cenderung membenarkan tindakannya dengan alasan seperti 'semua orang di kantor juga melakukan ini' atau 'saya hanya mengambil sedikit'. Dalam sisi psikologis, korupsi ini bukan hanya terkait uang, tetapi juga berbagai bentuk penyimpangan lain," ujarnya.
Sejumlah penelitian menyebut fenomena sosial ini sebagai banalitas korupsi, yaitu kondisi ketika masyarakat mulai menganggap korupsi sebagai hal yang wajar.
"Ini merupakan contoh kecil dari hal yang sangat berbahaya karena bisa menormalisasi perilaku koruptif," kata dia.
Innes menilai budaya kolektivistik di Indonesia yang lebih menekankan kepentingan kelompok daripada individu turut berperan dalam perilaku korupsi.
Berdasarkan berbagai kajian, menurut dia, tindakan korupsi tidak selalu didorong oleh keinginan untuk kaya, melainkan karena adanya solidaritas dalam organisasi.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai investasi jangka panjang untuk menanamkan nilai moral dan integritas sejak dini.
"Yang pertama berkaitan dengan pengetahuan, mengajarkan anak mana yang benar dan salah. Kedua, aspek perasaan menanamkan rasa bersalah dan tidak nyaman ketika melakukan kecurangan. Ketiga, aspek tindakan membiasakan anak memilih jujur walaupun sulit," ujar dia.
