Palu (Antara) - Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15/2013 tentang Pedoman Kampanye Pemilu Legislatif belum sepenuhnya dijalankan calon anggota legislatif.
Buktinya masih banyak calon legislatif yang belum mau mencopot alat peraga kampanyenya terutama papan reklame berukuran besar (billboard) di tempat-tempat stategis dalam kota.
Para calon itu umumnya calon anggota DPR RI bahkan ada di antaranya ketua partai politik dan sekretaris partai.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Tengah Ratna Dewi Pettalolo mengatakan para petinggi partai politik yang diharapkan bisa menjadi tauladan bagi calon legislatif yang lain dalam memberikan pendidikan politik yang baik, justru mereka tidak patuh pada aturan main pemilu.
Ratna khawatir kebiasaan buruk ini bisa berimplikasi pada ketidaktaatan calon yang bersangkutan jika terpilih menjadi anggota DPR nanti.
"Ala bisa karena biasa," katanya.
Seluruh tahapan pemilu tidak sekadar mekanisme belaka, tetapi juga mengandung unsur pendidikan dan kepatuhan peserta pemilu dalam menaati seluruh aturan main.
Jika saja dalam proses pemilu sudah ada partai politik, calon anggota DPR, DPRD dan DPD yang terang-terangan melanggar, bukan tidak mungkin setelah mereka terpilih juga tidak melakukan pelanggaran.
Di situlah, kata Ratna, pentingnya kesadaran hukum, kesadaran politik, kesadaran etika dan moral calon pemimpin di negeri ini. Perilaku calon selama dalam proses kampanye adalah cerminan prilaku dari calon yang bersangkutan.
Menurut Ratna, waktu kampanye yang panjang bagi calon tidak saja menguntungkan partai politik dan calon legislatif tetapi juga menguntungkan pemilih.
Tahapan kampanye yang begitu panjang waktunya sekaligus menjadi momen bagi pemilih dalam memilah mana calon legislatif yang taat dan mana yang tidak.
"Silahkan masyarakat menilai, mana calon yang patuh dan mana yang tidak," katanya.
Protes
Sejak KPU mengeluarkan peraturan Nomor 15/2013 sudah banyak yang memprotes, terutama terkait pasal pembatasan alat peraga kampanye seperti baliho yang hanya diperuntukkan bagi partai politik dan sepanduk untuk calon anggota DPR dan DPRD.
Arus protes itu terutama mengalir dari calon legislatif yang berkecukupan secara materi. Mereka menganggap hak dan ruang kampanye mereka dibatasi.
Bahkan ada calon yang beranggapan KPU telah membatasi jalan pembentukan popularitas mereka, sementara di satu sisi sistem pemilu sudah menganut proporsional terbuka. Siapa yang paling banyak perolehan suaranya, dialah yang terpilih.
"Justru di sinilah calon legislatif itu diuji, bagaimana mereka bisa berinteraksi dengan pemilih tanpa baliho," kata Ratna.
Sementara itu bagi calon legislatif yang pas-pasan secara ekonomi menganggap Peraturan KPU tersebut menguntungkan mereka.
Calon legislatif "dhuafa" ini menilai aturan main kampanye itu cukup adil, sehingga tidak hanya calon legislatif yang cukup secara materi bisa dikenal publik.
Ratna menilai di balik Peraturan KPU 15/2013 mengandung kelemahan. Salah satunya secara hukum tidak memberikan sanksi tegas apalagi pidana.
Bisa jadi, ketidakpatuhan calon legislatif itu, salah satunya karena tidak adanya sanksi yang tegas atas aturan main kampanye. Misalnya, calon legislatif yang tidak menaati aturan itu dicoret dari daftar calon tetap atau sanksi pidana.
Karena tidak ketatnya sanksi itu sehingga alat peraga kampanye yang dicopot hari ini oleh KPU dengan bantuan Polisi Pamong Praja, besok peraga serupa dipasang kembali oleh calon.
"Akhirnya Bawaslu yang diserang orang. Kami akhirnya menjadi bemper dari Peraturan KPU itu," kata Ratna.
Pengajar hukum tata negara Universitas Tadulako Palu Aminuddin Kasim berpendapat kewenangan penertiban alat peraga kampanye tidak lagi menjadi kewenangan Bawaslu/Panwas. Lembaga pengawas ini hanya memiliki kewenangan pengawasan.
Temuan pengawasan Bawaslu/Panwas itu direkomendasikan ke KPU untuk ditindaklanjuti di lapangan. Berbeda dengan Peraturan KPU Nomor 1/2013 tentang Pedoman Kampanye Pemilu kewenangan penindakan ada di tangan Bawaslu.
Terkait ketidakpatuhan calon legislatif atas larangan pemasangan baliho atau billboard di tempat-tempat tertentu, kata Aminuddin, pemerintah daerah bisa melakukan kewenangannya mencabut paksa alat peraga tersebut.
"Tetapi alangkah lebih elegan jika kesadaran calon yang bersangkutan mencopot sendiri alat peraganya itu," katanya.
Aminuddin juga menilai kesadaran hukum personal calon legislatif tidak kalah pentingnya dari aturan yang ditetapkan KPU itu sendiri.
Menakar kesadaran hukum calon legislatif
Kamis, 10 Oktober 2013 3:39 WIB 1128