Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Taman Nasional Meru Betiri merupakan kawasan pelestarian alam yang relatif masih memiliki ekosistem asli. Taman seluas 52.626,04 hektare yang tersebar di Kabupaten Jember dan Banyuwangi, Jawa Timur, ini dikelola dengan sistem zonasi.
Pengelolaan taman nasional itu berdasarkan prinsip konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya seperti tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Manfaat TN Meru Betiri, antara lain, memberi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya.
Nama taman nasional tersebut diambil dari nama gunung tertinggi di kawasan TN, yaitu Gunung Betiri berketinggian 1.223 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan Gunung Meru dengan ketinggian 500 mdpl.
Sebagian besar kawasan TN Meru Betiri (TNMB) merupakan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang memiliki nilai ekologis tinggi. Setidaknya terdapat lima macam ekosistem dalam TNMB yaitu hutan hujan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan reofit.
Dalam kawasan tersebut tercatat sebanyak 602 flora, 15 jenis di antaranya flora yang dilindungi. Dari jumlah itu ada 242 jenis flora yang diklaim berkhasiat sebagai obat dan 77 jenis di antaranya telah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti cabe jawa (Piper retrofractum) dan kedawung (Parkia roxburghii).
Contoh jenis flora yang dilindungi yakni bunga padmosari (Rafflesia zollingeriana kds) yang merupakan salah satu tumbuhan langka dan endemik yang hanya dimiliki TN Meru Betiri.
Adapun jumlah fauna tercatat sebanyak 512 jenis, di antaranya terdiri atas 31 jenis mamalia, enam jenis reptil, 254 jenis aves, 123 jenis serangga, 40 jenis pisces, dan 10 jenis amfibi.
Beberapa satwa yang dilindungi di kawasan TN Meru Betiri di antaranya macan tutul jawa (Panthera pardus melas), banteng (Bos javanicus), elang jawa (Nisaetus bartelsi), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan kijang (Muntiacus muntjak).
Secara internasional, kawasan TN Meru Betiri juga telah ditetapkan sebagai salah satu zona inti dari Cagar Biosfer Blambangan oleh UNESCO. Penetapan ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut memiliki potensi sebagai area pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan lokal, sains, dan teknologi yang mampu mendorong aksi kolektif pelestarian lingkungan.
Kepala Balai TN Meru Betiri, Nuryadi, menyatakan pihaknya berupaya semaksimal mungkin menjaga kelestarian dan ekosistem kawasan taman nasional, antara lain, bekerja sama dengan masyarakat di kawasan penyangga hutan dan pemerintah daerah setempat.
Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi maka dibutuhkan pengelolaan yang tepat untuk menjamin bahwa masyarakat mendapatkan manfaat dari potensi sumber daya alam tersebut. Dengan demikian, yang harus diperhatikan adalah pengelolaan konservasi, pemanfaatan secara lestari, dan pembagian yang adil atas manfaat dari penggunaan sumber daya tersebut.
TN Meru Betiri tidak bisa bekerja sendiri dalam memberdayakan masyarakat sekitar hutan karena banyak aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lain yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan pemerintah dan berbagai pihak yang peduli untuk menjaga hutan.
Edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan dan kawasan TN Meru Betiri juga terus dilakukan dengan melakukan pendekatan persuasif dan melibatkan mereka dalam menjaga kawasan hutan dari tindakan pidana hutan seperti pembalakan liar dan perburuan satwa liar.
"Perlu mengubah mindset masyarakat agar ikut serta menjaga kelestarian hutan, bukan merusaknya karena hutan merupakan sumber kehidupan mereka termasuk menjaga habitat satwa langka yang dilindungi dari ancaman kepunahan," tuturnya.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha TN Meru Betiri Khairun Nisa mengatakan berdasarkan data, ada beberapa spesies kunci yang berada di kawasan taman nasional inibyakni banteng yang tersebar di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I sebanyak 28 ekor dan SPTN Wilayah II sebanyak 44 ekor.
Kemudian tercatat jumlah macan tutul jawa yang telah teridentifikasi sejak tahun 2017 hingga 2022 sebanyak 17 individu. Populasi macan tutul mengalami peningkatan karena pada tahun 2019 tercatat sebanyak 12 ekor dan bertambah menjadi 17 ekor pada tahun 2022.
Penyu juga menjadi salah satu satwa prioritas yang mendapatkan perhatian karena tren populasinya mengalami penurunan akibat ulah manusia yang melakukan pencurian telur penyu dan faktor alam.
Jumlah penyu hijau yang mendarat di Pantai Sukamade pada tahun 2020 tercatat sebanyak 2.980 ekor, kemudian mengalami penurunan menjadi 1.001 ekor pada tahun 2021 dan pada tahun 2022 tercatat sebanyak 1.927 ekor dengan telur sebanyak 104.827 butir.
Untuk elang jawa di TN Meru Betiri tercatat sebanyak 11 ekor pada tahun 2020 dan jumlahnya tetap pada tahun 2021, kemudian baru bertambah populasinya menjadi 12 ekor pada tahun 2022.
Berbagai tindakan pidana hutan terjadi sekaligus menjadi ancaman kepunahan sejumlah satwa langka yang dilindungi di kawasan TN Meru Betiri.
Berdasarkan laporan kejadian illegal logging pada tahun 2020, tercatat sebanyak 47 kasus, tahun 2021 mengalami penurunan menjadi 31 kasus, dan pada tahun 2022 meningkat menjadi 46 kasus dengan jenis pohon yang banyak ditebang yakni pohon bayur.
Sedangkan untuk perburuan satwa liar pada tahun 2020 sebanyak dua kasus, tahun 2021 sebanyak 2 kasus, dan mengalami peningkatan pada tahun 2022 sebanyak 7 kasus.
Untuk itu, perlu melakukan kerja sama yang masif kepada masyarakat di sekitar penyangga hutan agar mereka ikut terlibat menjaga kawasan konservasi beserta sejumlah satwa liar yang dilindungi agar populasi satwa langka tidak terancam punah.
Pemasangan kamera trap
Koordinator Pemantauan Macan Tutul di TN Meru, Nur Kholiq, mengatakan pemasangan kamera pengintai atau trap yang menggunakan metode representatif untuk memantau satwa langka macan tutul Jawa mulai dilakukan sejak tahun 2017.
Namun, sebelumnya juga pernah dilakukan pemasangan kamera trap pada tahun 1994 dengan melakukan kerja sama WWF dan mitra lainnya untuk menelusuri keberadaan harimau jawa yang dinyatakan punah tersebut, kemudian pada tahun 2001 juga dipasang kamera trap sebanyak 18 unit.
Pemasangan kamera pengintai oleh TN Meru Betiri tersebut menggunakan metode representatif dengan sistem grid dalam desain site monitoring. Dengan demikian dapat menghasilkan data yang relevan dan reliabel untuk analisis ukuran dan populasi macan tutul jawa.
Sebanyak 80 unit kamera trap dipasang di 40 stasiun grid cell berukuran 2 x 2 kilometer. Dengan cakupan pemantauan seluas itu diharapkan populasi satwa karnivora besar tersebut dapat terpantau dengan baik. Yang didata hanya macan tutul dewasa meskipun dalam kamera trap beberapa kali juga terekam anak macan tutul yang mengikuti induknya.
Ia menjelaskan kegiatan monitoring macan tutul dengan menggunakan kamera trap bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat tentang populasi karnivora besar di kawasan TN Meru Betiri sehingga diharapkan dapat memberikan informasi kondisi populasi dan habitat karnivora besar serta satwa mangsanya.
Pemantauan populasi macan tutul dengan menggunakan kamera trap dilakukan 3 tahun sekali. Namun, monitoring satwa tersebut tetap dilakukan setiap tahun dengan menggunakan kamera trap untuk menelusuri perilaku satwa langka tersebut dan meminimalisasi perburuan satwa liar.
Macan tutul jawa yang populasi tinggal sedikit itu terancam punah jika perambahan hutan kian luas dan masyarakat abai menjaga ekosistem hutan.
Dalam berbagai kasus kepunahan flora dan fauna langka, keserakahan manusia menjadi penyebab utama yang terbantahkan.
Fauna dan flora langka di Taman Nasional Meru Betiri hanya bisa diselamatkan ketika "virus" bernama keserakahan itu bisa dilumpuhkan.
Melindungi macan tutul dari ancaman kepunahan di Meru Betiri
Selasa, 28 Maret 2023 15:56 WIB 4432