Potensi hidro sebesar 95 GW, tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama Kalimantan Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Papua.
Potensi surya sebesar 3.294 GW tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Riau.
Kemudian, potensi sebesar 155 GW dari angin dengan kecepatan lebih dari 6 meter per detik terdapat di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Papua.
Potensi energi laut sebesar 60 GW, terdapat di seluruh wilayah Indonesia terutama Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali. Lalu potensi panas Bumi sebesar 23 GW, tersebar di kawasan ring of fire yang meliputi Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Selain itu, terdapat potensi bioenergi sebesar 57 GW yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, berupa produk utama, limbah lahan perhutanan atau perkebunan, limbah di industri. Adapun jenis potensinya meliputi biofuel, biomassa, dan biogas.
Melihat potensi yang sangat besar itu, pemerintah pun menargetkan porsi EBT dalam bauran energi primer sebesar 23 persen pada 2025 dan paling sedikit 31 persen pada 2030, sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Bahkan, Menteri ESDM Arifin Tasrif beberapa waktu lalu mengatakan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara akan “pensiun” pada 2058.
“Setelah tahun 2030, PLTU batu bara tidak akan lagi dikembangkan. Pembangkit tambahan setelah tahun 2030 akan berasal dari EBT. PLTU batu bara, terakhir, akan berakhir pada 2058,” kata Arifin.
Mewujudkan transisi energi dari fosil menuju EBT tentu bukan tanpa tantangan. Misalnya, saat ini PLN masih mengalami kelebihan kapasitas listrik dari fosil, dan di saat bersamaan, PLN juga harus menambah bauran EBT.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa pun melakukan hitung-hitungan. Menurut dia, kapasitas tambahan dari EBT setidaknya 3-4 GW atau lebih setiap tahun, jika ingin mencapai target EBT dalam bauran energi primer sebesar 23 persen pada 2025.
“Akan tetapi, kondisi kelebihan kapasitas ini punya implikasi. Kalau pembangkitnya ditambah tapi demand-nya tidak naik dengan cepat, maka akan memperparah persoalan kelebihan kapasitas,” ujar Fabby.
Tantangan lain dalam mewujudkan transisi energi menuju EBT, adalah soal pembiayaan. Mengacu pada tarif rata-rata produksi listrik yang 70 persennya berasal dari batu bara, biaya produksi listrik saat ini berkisar 7-8 sen dolar AS per kWh.
Untuk itu, harga EBT tentu harus kompetitif. Hal ini dapat diwujudkan melalui pendanaan berbunga rendah.
Jika harga EBT tidak cukup kompetitif, maka hal tersebut akan menaikkan biaya produksi listrik. Naiknya biaya produksi listrik kemudian akan mengakibatkan membengkaknya subsidi.
Strategi mewujudkan transisi energi
Sederet upaya dilakukan pemerintah bersama PLN untuk mewujudkan transisi energi menuju EBT.
Gigih mengatakan, pemerintah melakukan penguatan regulasi yakni dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 yang memberikan referensi harga patokan tertinggi terhadap berbagai pengembangan PLT berbasis EBT.