Bengkulu (ANTARA) - Pemerintah Indonesia diminta segera menerbitkan seluruh peraturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mengingat hingga saat ini baru 3 dari 7 peraturan yang telah diterbitkan seiring perlunya pemenuhan regulasi untuk perlindungan korban kekerasan seksual.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, dalam keterangan tertulis yang diterima di Bengkulu, Jumat, mengatakan meskipun Indonesia telah mencantumkan komitmen kesetaraan gender dan perlindungan perempuan tetapi implementasinya masih belum sesuai harapan.
“Meskipun Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan penurunan prevalensi kekerasan seksual dan/atau fisik terhadap perempuan dari 26,1 persen (2021) menjadi 24,1 persen (2024), langkah konkret dalam penerapan kebijakan masih tertinggal. Hingga kini, pemerintah baru mengeluarkan 3 dari 7 peraturan pelaksana yang seharusnya diterbitkan dua tahun setelah pengesahan UU TPKS,” kata dia.
Hal itu, kata dia, belum banyak nampak implementasi dari UU No 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 serta Perpres No 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Ia menekankan belum adanya penerbitan tujuh aturan pelaksana UU TPKS ini bisa berdampak pada perlindungan korban yang tidak maksimal. Tanpa payung hukum yang lengkap, penanganan kasus kekerasan seksual berisiko menghadapi hambatan dalam aspek pencegahan, penanganan korban, hingga penegakan hukum terhadap pelaku.
Selain itu, Natasya juga menyoroti masih belum banyak keterwakilan perempuan dalam struktur pemerintahan, termasuk dalam Kabinet Merah Putih Prabowo yang didominasi laki-laki. Menurutnya, kurangnya keterwakilan perempuan berpotensi menghambat lahirnya kebijakan yang berperspektif gender dan inklusif.
Lebih lanjut, ia juga menyinggung UU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang dinilai perlu dikawal implementasinya agar tidak justru memperbesar kesenjangan gender di dunia kerja. Ia menekankan pentingnya kesadaran pemberi kerja dalam menerapkan kebijakan cuti menstruasi, hamil, dan melahirkan bagi perempuan tanpa menimbulkan stigma negatif yang dapat mempersulit perempuan memperoleh pekerjaan.
“Oleh karena itu, momentum Hari Perempuan Internasional seharusnya menjadi ajang refleksi bagi pemerintah untuk mempercepat realisasi kebijakan yang berorientasi pada kesetaraan gender. Program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) yang baru dirilis pemerintah juga perlu dioptimalkan sebagai upaya pemberdayaan perempuan dari tingkat desa,” katanya.