Kota Bengkulu (ANTARA) - Israel kembali menuai sorotan setelah mempertahankan kebijakan pelarangan bagi jurnalis untuk memasuki Jalur Gaza, meskipun tekanan dari lembaga hukum dan organisasi media internasional semakin meningkat. Dalam pernyataannya kepada Mahkamah Agung Israel, pemerintah menyebut bahwa mereka akan meninjau ulang kebijakan tersebut dalam waktu satu bulan, dan menyerahkan pembaruan resmi paling lambat 23 November 2025.
Langkah ini merupakan respons atas petisi hukum yang diajukan oleh sejumlah organisasi media dan lembaga kebebasan pers, yang menilai bahwa pembatasan jurnalis bertentangan dengan prinsip transparansi dan hak publik untuk mendapatkan informasi. Namun, dalam tanggapan yang disampaikan ke pengadilan, pemerintah menegaskan bahwa larangan tetap berlaku hingga peninjauan selesai, kecuali di area terbatas yang disebut sebagai “garis kuning.”
Istilah “garis kuning” merujuk pada zona imajiner yang membatasi wilayah yang masih diduduki tentara Israel di Gaza dengan wilayah yang telah mereka tinggalkan. Artinya, jurnalis hanya diperbolehkan berada di area kontrol militer, tanpa akses langsung ke lokasi-lokasi terdampak parah oleh perang.
Keputusan ini memicu kritik keras dari komunitas jurnalis internasional. Asosiasi Pers Asing (FPA) di Israel pada Kamis lalu menyatakan kekecewaannya terhadap putusan Mahkamah Agung yang masih memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah untuk menolak izin masuk bagi wartawan. “Larangan ini bukan hanya membatasi kebebasan pers, tetapi juga menutup mata dunia terhadap kenyataan yang terjadi di Gaza,” tulis FPA dalam pernyataan resminya dikutip Anadolu, Selasa.
Sejak perang pecah pada Oktober 2023, setidaknya 238 jurnalis Palestina telah terbunuh dan puluhan lainnya terluka akibat serangan Israel. Banyak organisasi hak asasi manusia dan lembaga media menilai bahwa kebijakan pelarangan liputan di Gaza merupakan upaya sistematis untuk menutupi kekejaman perang dan mengontrol narasi publik.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, hingga Oktober 2025, lebih dari 68.000 warga Palestina tewas dan 170.000 lainnya terluka akibat agresi Israel yang berlangsung selama dua tahun terakhir.
Sementara itu, gencatan senjata yang diumumkan pada 10 Oktober lalu berdasarkan rencana 20 poin Presiden AS Donald Trump telah membawa sedikit harapan, meski situasi di lapangan masih rapuh. Rencana tersebut mencakup pembebasan sandera Israel dengan imbalan tahanan Palestina, serta pembangunan kembali Gaza dan pembentukan pemerintahan baru tanpa Hamas.
Namun, tanpa liputan langsung dari jurnalis independen, banyak pihak khawatir bahwa realitas kemanusiaan di Gaza akan terus tersembunyi di balik propaganda politik dan sensor militer.
